Rencana

1.2K 254 13
                                    

"Jangan!" Pekik Sila saat ibu dari Nino menyuruh Yayan untuk satu kamar dengan putranya. Hal itu tentu saja membuat semua pasang mata menoleh pada gadis itu. "Mereka jangan sekamar dong, nanti Yayan diapa-apain sama Nino, aduh!"

Siska mencubit paha putrinya dan tersenyum canggung pada mereka. "Sila memang suka bercanda," ucapnya.

Sila mengusap pahanya yang terasa nyeri, gadis itu menggerutu sendiri. "Siapa yang bercanda si orang aku khawatir beneran," lagi-lagi kalimatnya itu mendapat sikutan dari sang mami.

Kini Nino jadi serba salah, jika ia menolaknya bukankah berarti gosip itu benar, orang akan berpikir bahwa dia tengah menghindar. Tapi satu kamar pun bukan pilihan yang bagus untuk membuktikan bahwa dia memang normal. Karena kenyataannya dekat dengan Yayan hati Nino selalu menghangat, detak jantungnya pun sering kali berantakan.

"Terserah Mami." Akhirnya kalimat itu meluncur dari mulut Nino dengan berat.

"Yaudah anterin temen kamu buat istirahat gih, kayaknya dia capek banget. Abis itu kamu temui mami lagi di sini, ada yang mau kita bicarakan sama kamu."

Atas kalimat panjan lebar sang mami, Nino kemudian mengangguk patuh. Pria itu melangkah ke kamar dengan mengajak Yayan untuk mengikutinya.

"Kamu udah makan?" Itu adalah kalimat pertanyaan yang Nino lontarkan pada Yayan saat mereka sudah sampai di kamarnya.

Yara yang semula mengagumi dekorasi kamar pria itu kemudian menoleh. "Udah, Bang," ucapnya.

Nino memerhatikan tubuh kurus pemuda di hadapannya dari ujung kaki hingga kepala, atas pengamatannya itu Yara reflek memundurkan kakinya. Dia memeluk tubuhnya sendiri.

"Kamu nggak bawa baju ganti kan?" Nino bertanya, dia sadar seseorang di hadapannya itu tengah waspada.

"Kamu nggak akan suruh aku buat buka baju kan?"

"Nggak!" Nino terkejut dengan jawabannya sendiri. "Enggak kok, aku cuma mau pinjemin baju," ucapnya dengan nada yang lebih tenang dari sebelumnya.

Pria itu melangkah ke arah lemari, mengambil kaus berwarna putih dan celana panjang untuk tidur. "Mungkin sedikit kebesaran, tapi nggak apa-apa kan?"

"Nggak apa-apa, Bang." Yara menerima pakaian itu dengan mengucapkan terimakasih. "Aku boleh pinjam kamar mandinya nggak?"

"Pakai saja," ucap Nino, pria itu kemudian pamit keluar kamar untuk menemui ibunya.

Di sana dia hanya bertemu dengan Sila yang duduk di sofa dengan memainkan ponselnya. "Mami ke mana?" Pria itu pun bertanya.

Sila mendongak. "Masuk tadi, ke dapur kali," ucap gadis itu, kembali fokus pada benda di tangannya.

Mereka memang tidak saling dekat hingga bisa mengobrol seperti seorang teman, Nino pun memilih diam saja dan duduk pada sofa di hadapannya.

"Yayan ke mana?"

Pertanyaan itu membuat Nino menaikkan alis. "Istirahat," jawabnya dengan menahan senyum. "Kamu tertarik sama Yayan?"

"Nggak juga." Sila tampak menyangkal, tapi kebohongan terpancar jelas dari sorot mata gadis itu. Meskipun Nino menyadarinya, namun dia lebih memilih diam saja.

"Oh," balas Nino singkat, dia terlalu malas untuk berdebat.

"Tapi meskipun aku menyukai Yayan itu sah-sah saja, aku perempuan dan dia laki-laki, berbeda dengan kalian." Sila tampak menyindir.

Nino menghela napas. Entah kenapa, gadis di hadapannya itu seolah menganggapnya saingan untuk mendapatkan hati Yayan. Benar-benar menjengkelkan.

"Yayan itu laki-laki yang polos, aku harap kamu nggak menjerumuskan dia ke dalam dunia kamu yang menyimp4ng itu," ucap Sila, tentang Nino yang dikatakan tidak normal, dia benar-benar meyakininya.

Satu Atap (Tamat Di KbmApp)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang