"Ante Yaya!" Seorang bocah kecil berlari ke arah Yara kemudian memeluk kakinya.
Yara tentu saja terkejut, anak itu ternyata mengenalinya. Dia menoleh pada Nino Nakula yang tengah menatapnya.
"Jira! Sayaang, masa omnya dipanggil tante si?" Pria itu mendekat.
Sesaat Yara tertegun, ternyata pria itu bukan Nino. Dia menoleh pada Jira yang kemudian melepaskan kedua kakinya.
"Papi Jioo? Ini bukan Ante Yaya?"
"Bukan, Sayang." Pria yang ternyata ayah dari bocah itu mengangguk canggung pada Yara, "maaf ya, Mas."
Yara ingat, Nino pernah bercerita bahwa pria itu mempunyai saudara kembar, dia kemudian tersenyum. "Nggak apa-apa, Bang," ucapnya, lalu mengulurkan tangan. "Saya Yayan."
"Jino!" Pria itu menyambut uluran tangan Yara dan menyebutkan namanya.
Jira kecil juga mengulurkan tangan saat Yara menoleh ke arahnya. "Nama aku Cila," ucapnya.
"Oooh, Cila apa Jira?"
"Cila, Om."
"Enggak pake je?" Yara bertanya menggoda.
Gadis kecil itu tertawa kemudian menggeleng. "Enggak pake je, Cila aja, emm pake apa Papi Jio?" tanyanya dengan menoleh pada sang papi.
"Pake ce." Jino ikut tertawa menanggapi putrinya, mereka memang sering belajar mengeja nama, entah kenapa dibanding Jila, bocah itu lebih suka memanggil namanya sendiri dengan panggilan Cila.
Seseorang yang menuruni anak tangga membuat ketiganya menoleh. Itu Nino, Yara baru menyadari bahwa mereka bagai pinang di belah dua, mungkin jika mengenakan baju yang sama, dia tidak akan bisa membedakannya.
"Om Ni!" Jira berlari ke arah pria itu kemudian melompat ke gendongannya. "Om Ni Cila panggil-panghil dali tadi," ucapnya kesal.
"Om Ni di kamar, Sayang." Nino mencubit hidung mungil keponakannya, kemudian menoleh pada Jino. "Kalian udah kenalan?" tanya pria itu.
"Udah," ucap Jino kemudian mengajak abangnya itu untuk keluar rumah, mereka sudah berjanji mengajak Jira jalan-jalan.
"Yayan, aku pergi dulu. Kalo kamu mau keluar juga, jangan lupa kunci pintunya ya." Nino memberi pesan.
Setelah mengangguk mengiyakan, Yara kemudian mengatakan sesuatu. "Bang, kalo A Sigit main ke sini boleh nggak?" tanyanya ragu. "Tapi kalo nggak boleh nggak apa-apa, kok," imbuhnya lagi.
"Boleh," ucap Nino.
"Makasih Bang Nino."
Binar bahagia di mata gadis itu membuat seorang Nino menggelengkan kepala, mengenyahkan kekagumannya terhadap senyum cantik Yara yang dalam pandangannya adalah seorang pria, dia sudah mulai merasa tidak normal sepertinya.
Beberapa saat setelah si pemilik rumah beserta adik dan keponakannya pergi, Sigit sampai di rumah itu dengan masih membawa beberapa kotak paket yang belum sempat ia antarkan. Yara langsung menyuruh abangnya untuk membetulkan kran air yang rusak.
"Gimana si, orang kaya, rumah mewah masa krannya bisa copot." Sigit bergumam sendiri. Yara yang memegang gunting di sebelahnya ikut merasa heran.
"Nyicil kali, A. Makanya begitu." Yara memberi dugaan. "Aa udah makan belum? Mau makan nggak."
"Belum sih tapi jangan deh. Nggak enak." Sigit menolaknya sungkan.
Yara yang salah paham memukul lengan abangnya. "Sembarangan aja bilang nggak enak, masakan aku mana ada yang nggak enak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap (Tamat Di KbmApp)
عاطفيةSejak dikabarkan gagal menikah, Nino Nakula Adley tidak pernah lagi berhubungan dengan seorang wanita. Hingga berita bahwa dia menyukai sesama jenis membuat keluarga pria itu tidak terima. Nino tidak merasa terganggu akan berita itu, hidupnya normal...