Chapter 3: Sambutan

150 20 38
                                    

Seorang pria paruh baya tengah terduduk di dipan tua sembari membuka sepucuk surat yang beliau ambil dari atas meja. Kedua netranya sibuk menatap tulisan bertinta hitam di sana lekat-lekat. Setelah menjatuhkan botol minumannya yang sudah tak bersisa ke sembarang arah, ia berdiri sempoyongan.

Kedua tangannya mengepal erat. Pria itu membuka lemari kayu yang tampak sudah koyak di beberapa bagian. Tawanya mengudara begitu mendapati tak ada sehelai pun pakaian yang tergantung di sana. 

"Lihat. Setelah Bibinya pergi, dia juga ikut pergi? Huh, dasar keponakan tidak tahu diuntung!" geramnya sembari menendang pintu lemari kuat-kuat. Napasnya memburu tatkala menyadari bahwa kini dirinya tinggal seorang diri. Tak ada lagi tawa maupun perbincangan hangat yang mengisi rumah seluas 10 × 10 meter itu.

Pusing yang semakin mendera kepalanya membuat pria paruh baya itu terduduk ke lantai marmer yang dingin. Teriakannya menggema ke seisi rumah. Kemudian, ia kembali meracau, "Tata! Awas kamu!"

Setelah berdiri dengan susah payah, pria tersebut keluar dari kamar. Niatnya untuk meminta uang pada sang keponakan dilupakannya begitu saja. Padahal dirinya sudah berencana untuk mencari Arida—istrinya yang telah pergi bersama lelaki lain—lalu memaksanya pulang.

Namun, sekarang tidak lagi. Kepergian kedua sosok perempuan yang sudah mengisi rumahnya dengan kehangatan sudah menyakitinya begitu dalam. Lupakan hal itu. Kini yang bisa dilakukannya hanya merutuk dan menyesali semua yang telah beliau perbuat.

"Tata, Arida ... maafkan aku."

***

Saat pria paruh baya itu sibuk memimpikan kebahagiaan yang kini sudah menghilang, di asrama Tata justru sibuk mempersiapkan diri. Sebelumnya, seorang wanita dengan seragam hitam putih telah datang kepadanya dan Rensi. 

Beliau memberikan sebuah kunci lalu menunjuk satu ruangan di lantai dua dengan pintu berwarna cokelat muda. Dari wanita itulah Tata tahu bahwa ruangan tersebut yang akan menjadi kamarnya dan Rensi selama berada di asrama.

"Kamu sudah siap, Ta?" tanya Rensi sembari berdiri di depan kaca lalu memoles bibir pucatnya dengan lipbalm. Setelah merasa cukup puas, ia berputar sembari menatap setiap sudut pakaiannya.

Tata berdecak kagum. Gaun berwarna merah yang dikenakan Rensi benar-benar indah. Ada beberapa pita yang menjuntai di bagian bawah. Tepat di sekeliling pinggang, melingkar bunga-bunga kecil berwarna putih. Warna gaun itu terlihat sangat mengilap.

Berbeda dengan dirinya saat ini. Tata hanya mengenakan sweater lusuh yang ia dapatkan dari kakak sepupunya. Menjadi putri termuda di keluarga besar membuatnya seringkali diberi lungsuran yang masih layak pakai. Hanya saja, di beberapa bagian terdapat warna yang sudah memudar.

Setelah merasakan tepukan kecil di bahunya, Tata mengerjapkan mata. Ia menoleh dan meringis pelan begitu mendapati Rensi berdiri di sampingnya sembari menggerutkan dahi. Mata gadis itu memindai sweater-nya tajam.

"Ya ampun. Apa ini, Ta? Kenapa pakaianmu—sorry to say—lusuh seperti ini?" tanya Rensi terkejut. Ia tampak begitu frustrasi. Entah apa yang dipikirkannya. Namun, yang pasti dari tatatapannya saat ini, ia seolah ingin mengatakan, 'Ah pakaian buruk dari mana ini?'

Rensi berkacak pinggang setelah menghela napas kasar. Ia menunjuk sweater Tata seraya berucap, "Ganti pakaianmu sekarang, Tata!"

Terdengar tawa kecil dari bibir mungil Tata. Hal itu mengundang kejengkelan Rensi. Setelah mendapati sahabatnya sedang dalam kondisi serius, Tata menyudahi tawanya.

"Gini, Ren. Sebenarnya, aku juga ingin mengganti sweater ini. Tapi itu kalau ada. Bukankah kamu tahu kalau semua pakaianku memang lungsuran sejak dulu?" 

Asrama 300 DCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang