Fur Elise. Komposisi gubahan Ludwig van Beethoven itu mengalun syahdu dari ketinggian lantai tiga puluh sebuah apartemen mewah. Jari-jemari sang lelaki bergerak lembut namun lincah, menekan tuts piano penuh penghayatan, seolah sedang meresapi patah hati Beethoven yang terekspresikan lewat tiap nada.
Tanpa iringan melodi kepedihan itu pun, malam sudah cukup suram. Mungkin karena hari ini bertepatan dengan peringatan ulang tahun seseorang. Seseorang yang sangat berarti bagi lelaki itu, tapi tak pernah bisa dimilikinya, seperti Elise yang tak pernah bisa dimiliki Beethoven.
"Aku suka permainan pianomu, Juna," puji gadis itu dalam ingatan sang lelaki. "Waktu pesta sweet seventeen-ku nanti, mainkan lagu yang keren seperti ini, ya."
Pada akhirnya, Juna tak pernah mewujudkan permintaan itu, karena si pemilik permintaan tak pernah mencapai umur tujuh belas. Enam belas tahun lalu, nyawa gadis itu melayang sebelum perayaan sweet seventeen-nya.
Permainan piano itu pun berakhir tanpa cela, tapi sayangnya, tak mampu memuaskan Juna. Selalu ada rasa kehilangan yang menyertai akhir permainan. Juna melirik pigura berukuran 4R yang berdiri di atas badan piano. Tak ada lagi perasaan berbunga tiap kali menatap wajah manis berhias tawa ceria dalam foto itu. Yang Juna rasakan hanya kepedihan.
Meski begitu, ia tetap berusaha tersenyum saat mengucap lirih, "Selamat ulang tahun, Gladys."
Ponsel Juna berbunyi. Dari nada deringnya, ia tahu siapa yang menghubungi. Meski si penelepon adalah orang yang Juna hormati, bukan berarti ia mengharapkan teleponnya, terutama karena telepon dari ibunda Gladys adalah pertanda buruk.
"Juna, aku perlu bantuan," ucap suara di seberang dengan nada mendesak.
Ada apa lagi kali ini?
"Bersiaplah segera. Akan kukirim anak buahku untuk menjemputmu sekarang."
"Tidak perlu, Miss. Saya ke sana sendiri." Juna memang bisa sampai ke asrama Miss Rachmah lebih cepat tanpa bantuan siapa pun.
Sambil bangkit dari kursi piano, Juna menyelipkan ponsel ke saku celana jeans hitamnya. Ia berjalan tenang menuju balkon. Angin malam menerpa keras ketika Juna melompat ringan ke tepi bangunan, lalu terjun keluar balkon. Tubuh jangkung nan atletis itu menukik tajam ke bumi. Bersamaan dengan itu, seekor gagak terlihat melesat mendekati Juna. Penyatuan keduanya menghasilkan kelebatan misterius di langit malam yang takkan tertangkap panca indra orang awam.
***
Arsen mempercepat langkah. Seisi asrama harus segera diberitahu soal ritual mengerikan yang akan dilakukan pengurus asrama. Bukan cuma Rin yang mungkin terancam bahaya, melainkan seluruh penghuni asrama.
Orang pertama yang harus tahu adalah Rey. Dengan kepala dingin dan cara berpikirnya yang cepat, Rey pasti tahu apa yang harus dilakukan. Arsen sendiri sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk berpikir. Entah kenapa, otaknya justru kacau di saat genting.
Saat Arsen melewati gerbang asrama putra, bulu kuduknya diremangkan oleh hawa dingin yang menyeruak tiba-tiba. Perasaannya sungguh tak enak. Di saat seperti ini, Arsen seharusnya langsung berlari kencang memasuki asrama, tapi entah kenapa, kakinya malah membeku. Bukan ... bukan hanya kaki. Seluruh tubuhnya tak bisa bergerak. Sesuatu yang tak kasat mata sedang mematrinya di tanah.
Kehampaan menyerang Arsen. Perasaan ini begitu sedih dan memilukan, persis yang dirasakannya saat depresi atau saat melihat garis lurus pada elektrokardiogram. Sungguh ... ia membenci perasaan itu. Saat Arsen berusaha membuang semua pikiran negatif, belakang lehernya menangkap embusan napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama 300 DC
Teen FictionSelesaikan misimu di dalam Asrama yang penuh tantangan! Write your own story in here! Dalam rangka merayakan anniversary ke dua tahun 300 Days Challenge, kami mengadakan event menulis bersama. Asrama 300 DC adalah Sebuah cerita estafet yang akan dit...