Chapter 15: Ternyata

68 10 33
                                    

"Sebentar lagi." Pemilik Asrama 300DC itu bersender di kursi. Ditemani iringan lagu dari kotak musik kayu, tangannya memutar-mutar gelas wine, membuat isinya yang hampir habis ikut berputar-putar searah jarum jam.

Mata bulat dengan pupil hitam pekatnya menatap tajam ke arah jendela. Langit Jakarta terlihat semakin hitam pekat, berhias bulan sabit dengan taburan banyak bintang. Membawa pada kenangan indah yang pernah dirasakannya belasan tahun lalu, sebelum semuanya sirna dalam satu malam.

Bu Rachmah, wanita bertubuh tinggi besar yang disegani dan dihormati oleh seluruh penghuni Asrama 300DC itu menaruh gelas wine di atas meja kerja, sebelah bingkai kayu, berisi foto dirinya bersama gadis berseragam putih-biru yang memegang bunga amaranth.

Ia bangkit dari singgah sananya, mendekat pada lemari kayu yang dipenuhi dengan banyak barang-barang antik—patung kayu—koleksi yang diturunkan oleh para leluhurnya. Tangannya segera mengambil sebuah map berwarna ungu muda dengan gambar bunga amaranth besar di bagian tengah.

Bu Rachmah menurunkan sedikit kacamata, membaca semua nama yang tersusun berurutan di kertas berwarna putih tulang yang semakin menguning. Membaca semua biodata lengkap semua penghuni, penerima undangan—sengaja ia buat.

Mata bulat yang terhalang oleh kacamata itu menatap salah satu nama yang ada di lembaran paling terakhir. Nama itu memang target utamanya, keberadaannya sangat sulit terlacak karena seringnya berpindah-pindah tempat. Untung Tuannya itu memberi petunjuk, sehingga ia bisa mengerahkan semua anggota untuk menemukannya.

Jari telunjuknya mengusap-ngusap foto gadis bermata biru yang memiliki rambut cokelat bergelombang menjuntai sangat indah. Ia menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.

"Kupastikan kamu akan jauh lebih bahagia di sana, Nak. Seandainya ayah dan ibumu mematuhi peraturan dan tidak bertindak bodoh, kamu tak akan pernah mengalami hal seperti ini," ucap Bu Rachmah, mengingat kembali kejadian enam belas tahun lalu.

Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, Bu Rachmah pun melirik. Mempersilakan orang yang mengetuk pintu ruangannya itu untuk segera masuk.

Bu Kim masuk dengan tergesa-gesa.

"Kamu sudah periksa semuanya? Tak ada yang kabur lagi, kan?" tanya Bu Rachmah, memastikan.

Bu Kim, rekan setianya itu mengangguk. "Semua sudah masuk kamar masing-masing, Bu Rachmah." Ia melangkah lebih dekat, lalu menaruh kotak kayu berwarna hijau keemasan dengan gambar bunga amaranth di bagian tengah. "Bu, malam ini ...."

"Jangan kencang-kencang, nanti ada yang dengar. Pelankan suaramu," potongnya. Lalu ia menutup kembali kotak musik kayu milik anaknya itu, iringan lagu yang membuat bulu kuduk merinding pun tak terdengar lagi.

Bu Kim menunduk sembari melipat salah satu tangan di depan dada. "Maaf, Bu."

"Nanti malam ritual akan dimulai. Semua anggota sudah mempersiapkan segalanya, kita hanya membawanya saja ke sana."

"Siapa yang mau Bu Rachmah persembahkan lebih dahulu?" tanyanya, sangat penasaran dengan rencana sang ketua organisasi.

Wanita tinggi besar itu segera menyerahkan foto yang sedang dipegangnya.

Dahi Bu Kim mengerut, hingga dua alis tipisnya saling tertaut. "Rin Schreiber? Kenapa dia yang lebih dulu?"

Ia berdiri di hadapan Bu Kim, lalu mengangkat dagu rekan sekaligus anggota yang paling ia percaya. "Memang menurutmu siapa yang seharusnya dipersembahkan terlebih dulu pada Tuan kita?" Tatapan tajamnya sangat mengitimidasi, Bu Kim kembali menunduk.

"Sa-saya pikir, Tata atau anak yang—"

"Rin itu anak dari seorang pengkhianat. Orang tuanya sudah membuat organisasi kita kacau, dan membuat Tuan marah. Anakku akhirnya jadi korban. Kini aku akan membalikkan keadaan seperti yang seharusnya terjadi." Bu Rachmah menepuk pundak Bu Kim, lalu kembali duduk di singgah sananya sembari memperhatikan jam dinding yang tertempel di dinding. Menunggu jarum jam terhenti di angka dua belas, dengan bulan purnama yang sebentar lagi terlihat.

Asrama 300 DCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang