Chapter 10: Sepuluh Tahun yang Lalu

81 14 18
                                    

Menyendiri, berharap ketenangan akan datang menghampiri. Begitulah cara seorang Ellioz Kenzoi menghabiskan sore ini di halaman belakang asrama putra. Kepergian saudaranya ibarat pukulan telak dan tentunya menggores luka dalam. Kesedihan masih sering menghampirinya kapan saja. Jiwanya seolah terombang-ambing di lautan, tanpa arah.

Asrama putra memang hanya berpenghuni beberapa orang saja. Walau ukurannya hampir sama dengan asrama putri yang berada bersebelahan. Di belakang asrama terdapat sebuah lapangan kecil yang multi fungsi. Lengkap dengan sepasang gawang futsal yang dapat digeser ke tepi lapangan jika tidak sedang digunakan.

Dugh...

Sebuah bola futsal mengenai punggung Ellioz yang tengah menantikan senja di salah satu bangku yang terdapat di tepi lapangan mini itu. Ellioz mengaduh pelan. Hantaman bola yang lumayan keras mungkin akan meninggalkan bekas memar di punggungnya.

"M-maaf, aku tidak sengaja."

Seorang lelaki berbadan atletis terlihat mengambil bola dan berjalan mendekatinya. Ellioz sedikit menggeser tubuhnya agar lelaki itu dapat duduk di sampingnya.

"Jika hari-harimu masih sering meratapi kepergian adik kembarmu, aku yakin dia tidak sepenuhnya bisa beristirahat tenang di sana."

Ellioz hanya menggangguk pelan. Namun, hatinya seakan meledak. Ingin rasanya mengumpat dan membombardir lelaki asing di sebelahnya dengan sumpah serapah. Apa dia tidak berpikir, bagaimana rasanya kehilangan satu-satunya orang yang disayangi? Namun, nalarnya masih cukup waras untuk menahan emosi.

"Terima kasih, aku telah merelakan kepergiannya. Namun, rasa kehilangan itu akan selalu ada."

Bibir Ellioz tersenyum simpul. Dia melirik bola yang masih didekap erat oleh lelaki yang tingginya jauh melebihi postur tubuhnya.

"Kamu sangat menyukai sepak bola?"

"Tiada hari tanpa bermain bola lebih tepatnya. Kenalkan, aku Robert Firmino." Lelaki itu mengulurkan tangannya.

Ellioz menyambut tangan kekar itu. Dia berdecak kagum dengan postur tubuh Robert. Tinggi atletis, putih dan berhidung mancung khas orang Eropa.

"Namamu juga mirip pemain bola."

"Ayo, ikut bermain bersamaku, ini masih jam 3 sore. Kau tentunya bisa bermain futsal, kan? Walau hanya menggiring bola dan mengoperkannya ke teman satu tim?"

Ellioz mengangguk, senyum simpul lagi-lagi terukir di bibirnya. Dia lantas mengekor di belakang Robert yang terlebih dahulu berjalan menuju ke tengah lapangan.

***

Tata, Rensi, dan Rin menikmati sore dengan berjalan-jalan keliling asrama. Langkahnya terhenti tepat di depan sebuah ruangan yang keadaannya tidak terkunci. Ketiganya saling pandang sejenak. Hingga Rin berinisiatif melangkah maju dan mendorong pintu ruangan dan memasukinya.

Sebuah ruangan yang mirip seperti laboratorium komputer, karena ada beberapa komputer di sana lengkap dengan proyektornya. Penglihatan Tata tertuju pada beberapa telepon seluler yang terletak di atas meja.

"Ini milik siapa? Kenapa telepon genggam ini bisa berada di sini?" Tata mengambil salah satu telepon genggam yang terlihat masih menyala.

Walaupun bukan keluaran terbaru, namun semua telepon genggam bisa berfungsi dengan baik. Bahkan, beberapa di antaranya sudah tersambung dengan jaringan wifi asrama.

"Rin, lihat, ada amplop merah dibawah telepon ini. Apakah ini sebuah teka-teki lagi?"

Rensi yang menemukan amplop segera membuka isi surat yang berukuran sebesar buku sekolah.

Asrama 300 DCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang