"Aku akan merindukanmu, Sa."
Segunduk tanah yang masih basah, menyebar harum wewangian taburan kelopak bunga. Batu nisan bertulis nama beserta marga, tanggal lahir, sekaligus tanggal kematian tertera jelas di sana.
Alisa Kenzoi
16 Juli 2004 - 22 Februari 2021
Sejak mentari hadir dari ufuk timur, dirinya masih setia menemani adik kembarnya untuk beristirahat dengan damai. Mulutnya terus bergumam tanpa henti.
"Kepedihan, kehancuran, kepahitan, semua telah lenyap, Sa. Mereka ikut bersamamu. Tapi usahakan, kamu bahagia di sana. Karena aku ... juga berbahagia di sini."
▪️▪️▪️
"Jadi, Erich yang kamu tunggu itu adalah Rin Schreiber?"
Selena mengangguk kuat. Bahagia yang ada dalam hatinya benar-benar tak bisa tertahan lagi. Setelah beberapa tahun, doanya dikabulkan oleh Tuhan. Pertemuannya dengan Erich, bagaikan mendapat sebuah peti harta karun yang tak ternilai harganya.
"Baguslah, aku turut bahagia melihatmu berhasil menemukan Erich."
Lengkungan manis yang terpatri di bibir Selena membuat desiran aneh di dalam sana. Kedua retina yang semula terfokus pada sosok itu, akhirnya beralih ke jam yang melingkar di pergelangan tangan.
"Ah, aku lupa. Aku ada janji dengan temanku. Kamu mau ikut, atau kembali ke kamar?" tawar Arsen dengan harapan jika Selena akan memilih opsi pertama—ikut dengannya.
"Eum—"
"Udah, ikut aja!" Tanpa aba-aba, tawaran yang ia haturkan tak berguna lagi dan langsung menarik pergelangan tangan Selena.
▪️▪️▪️
Usang-Tak berguna
Robekan kertas berwarna pink yang ia temukan di laboratorium membuat akal sehatnya berkecamuk. Ia berjanji takkan peduli dengan berbagai kode konyol dari asrama yang ia tempati. Sebab, tinggal di sana bukanlah keinginan hatinya. Melainkan, keinginan menjaga sosok tersayang yang kini telah tiada.
Hampir saja ia meremas sobekan kertas itu dan melemparnya ke tong sampah. Namun, niat itu tertahan dengan kedatangan seorang gadis. Kedua manik mata mereka bertemu. Menyiratkan sebuah pesan agar tak membuang kertas yang ia genggam.
"Jangan buang kertas itu. Aku tau, kamu menemukannya." Gadis itu menyeru lantang meski wajahnya masih tetap terkesan manis. Memabukkan siapapun yang melihatnya meski hanya sekejap mata.
"Hei, Manis. Siapa namamu?" Pertanyaan itu sontak mengundang tawa hambar dari si Gadis.
Rensi—gadis itu melipat tangan ke dada dan tersenyum miring. "Jangan coba menggodaku, Dasar Cowok Payah!"
"Payah?" Tudingan dari Rensi membuatnya memijit tulang hidung. Begitulah ketika ia merasa kesal karena direndahkan seorang gadis. "Wajah manismu tak pantas untuk mulut pedasmu. Tapi, itu adalah salah satu tanda bahwa Tuhan memang adil."
Ingin hati Rensi membela diri atas penghinaan itu—meski dia duluan yang memulai, terhambat ketika manik matanya menangkap bayangan dua sosok yang ia kenali.
Selena dan Arsen.
"Rensi? Ellios? Ternyata kalian sudah saling kenal? Atau jangan-jangan kalian bermain di belakang kami?" Arsen menyunggingkan senyuman penuh selidik. Sedangkan Selena hanya diam menatap kedua sosok yang tengah berdebat dengan polos.
Dalam hiruk-pikuk kantin di pagi hari menjelang siang, Rensi menggeram kesal. Semangkuk bakso yang ia pesan harus diabaikan mendingin sejak melihat niat seseorang ingin membuang secuil kode teka-teki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asrama 300 DC
Teen FictionSelesaikan misimu di dalam Asrama yang penuh tantangan! Write your own story in here! Dalam rangka merayakan anniversary ke dua tahun 300 Days Challenge, kami mengadakan event menulis bersama. Asrama 300 DC adalah Sebuah cerita estafet yang akan dit...