Si Mayat Mengapung Danau Bomunho
Horror-Gore
By. tuesdayat7am
***
Danau Bomunho di awal bulan April memang sangatlah indah. Sakura sedang waktunya untuk mekar. Memberikan sentuhan keindahan yang teramat jarang ditemui di lain waktu. Menarik ratusan wisatawan untuk menikmati 'musim cinta' atau sekarang berfoto lalu mengunggahnya ke SNS.
Aku juga merupakan salah satu wisatawan tetap di tempat ini. Hampir sepanjang usiaku yang tahun ini menginjak 25, aku selalu ke tempat ini.
Duduk seraya melukis di bawah rindang pohon sakura. Melukis apa pun yang ditemui mataku. Kemudian mengubah objek tersebut menjadi salah satu mahakaryaku. Beberapa gambar bahkan sudah berada di dinding-dinding rumah temanku. Entah itu karena mereka berniat membeli, atau sengaja kuhadiahkan sebagai pajangan. Walaupun kebanyakan mereka membelinya, sih. Mungkin kasihan dengan si yatim-piatu dari Busan yang banting tulang di Seoul untuk menjadi salah seorang seniman.
Namun, kali ini aku tidak melukis di sini. Mungkin beberapa teman merangkap pelanggan tetap lukisanku akan bertanya ini-itu. Walaupun mungkin tidak banyak yang begitu. Terlebih jika melihat berita tentang penemuan mayat mengambang di Danau Bomunho ditayangkan dari televisi ke televisi lain, dicetak dari satu surat kabar ke surat kabar lain, atau mendengarkan dari satu mulut ke mulut lain.
Aku tidak memedulikannya lagi. Toh, duka mereka paling akan segera lenyap selepas berita-berita baru mencuat, dan berita tentang 'mayat mengapung di Danau Bomunho' ㅡtidak lagi dipedulikan.
Bukankah hidup memang seperti ini? Seperti tajuk di sebuah surat kabar, akan hilang begitu muncul tajuk lain. Terus begitu.
Ah, iya. Kalian mungkin bertanya, mengapa cerita ini bermula dari diriku, si mayat mengapung di Danau Bomunho ini. Pekan lalu, aku sengaja ke sini. Biasalah, selain menikmati sakura, juga mencari peruntungan dengan membuat barang tiga atau lima lukisan sekaligus. Bisa dibilang aku juga pekerja lepas atau freelancer.
Pffft! Hanya alibi untuk status pengangguranku saja.
Lagipula, melukis tidak menghasilkan pundi-pundi uang untukku sekarang ini. Sebagian besar kebutuhan hidupku masih ditanggung oleh Bibi yang cerewet dan juga Paman yang tidak pernah berbicara lebih dari 30 detik kepadaku. Juga dari pekerjaan paruh waktuku di sebuah minimarket 24 jam. Dari sana juga, sumber makananku berasal. Untuk kalimat sebelumnya tolong dibaca; aku bisa mendapatkan gimbap dan roti kedaluwarsa untuk kumakan demi berhemat.
Sialnya, aku datang di waktu yang tidak tepat. Entah karena diriku yang sudah tidak sabar melukis atau karena didorong ucapan Bibi di pagi hari sebelum kakiku bertolak ke tempat ini.
"Kau itu sama saja seperti ibumu! Dasar tidak tahu diuntung! Kenapa kau tidak mati saja seperti ibumu yang penyakitan itu!"
Begitulah kira-kira ucapan Bibi. Ah, lebih tepatnya teriakan Bibi. Itu memang bukan kali pertama Bibi berteriak demikian. Sudah cukup kenyang teriakan serupa kusantap saban hari.
Dari mulai menyusahkan saja, tidak tahu diuntung, dan yang terakhir menyuruhku untuk mati saja. Berbicara tentang mati, alangkah senangnya hati Bibi bila tahu ucapannya terkabul.
Tempat ini masih cukup gelap ketika aku tiba di sini. Udara juga masih sangat dingin. Walaupun tentu saja, keindahan sakura yang masih belum terlalu nampak cukup menghiburku. Namun, belum juga keindahan sakura kunikmati sebentar lagi. Mendadak tubuhku lemas tepat setelah kumerasakan leher belakangku seperti digigit semut.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARAH HIGH MUMBUL
FanfictionKontes kepenulisan FF oneshot teamorosie untuk umum.