Selamat Membaca
Semilir angin sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut legam itu. Duduk di bawah peraduan lembayung senja membuatnya tampak berkilau.
Si gadis hanya diam membisu. Tak terusik dengan angin usil yang menerbangkan surainya. Memandang air danau yang tenang dengan otak yang terus berputar.
Matahari kian condong ke barat, suhu udara mulai mendingin. Namun, gadis itu tetap pada posisinya, duduk termenung di atas rumput teki tepi danau.
Menghela napas sejenak, gadis itu mengalihkan pandangannya ke sekitar, hanya ada dirinya di sana. Kemudian, memandang jauh ke seberang danau. Tampak pemandangan gedung bertingkat dengan jalan raya yang selalu padat.
Selalu seperti itu, orang-orang terlalu sibuk dengan ego masing-masing, tanpa memikirkan ada orang lain yang membutuhkannya. Mereka terlalu buta akan situasi dan kondisi di sekitarnya. Hanya karir, derajat dan martabat yang mereka pikirkan.
Seperti halnya orang tua si gadis. Pernahkah kalian bertanya, siapa itu orang tua? Pasti kalian akan serempak menjawab, orang tua adalah sosok yang begitu tulus menyayangi anak mereka. Senantiasa mencurahkan kasih sayang dan memeluk hangat anak mereka.
Namun, berbeda dengan gadis itu, bila ditanya siapa orang tuanya, dia hanya menjawab, orang yang menghadirkannya di dunia atas kuasa Tuhan. Selebihnya dia tidak tahu, tak begitu memahami makna arti orang tua yang sesungguhnya.
Dia rindu kedua orang tuanya. Rindu yang teramat. Ingin rasa mengulang kembali ke tempo lalu. Masa di mana kedua orang tuanya memeluk hangat tubuhnya, selalu mencurahkan kasih sayang kepadanya. Ia rindu.
Di saat seperti ini dia membutuhkan sandaran untuk sedikit menopang beban hidupnya. Seminggu yang lalu, mungkin ia masih memiliki tempat untuk bersandar serta mengeluarkan segala keluh kesahnya. Namun kini, orang itu telah pergi. Jauh terpisah oleh ruang dan waktu.
Kepalanya menunduk, tak sanggup lagi harus berpura-pura mengangkat kepalanya. Mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Jauh dalam lubuk hatinya dia hancur. Desakan dalam tubuhnya kian memuncak, meloloskan tangis yang sempat tertahan.
Tangisan yang terdengar pilu. Meraung-raung tanpa makna untuk menjelaskan setiap inci kesakitannya. Ya, hanya menangis yang sanggup ia lakukan.
Semakin pilu ketika potongan-potongan kenangan lalu tersebar di otaknya. Memunculkan desakan aneh yang menikam ulu hatinya.
Tepat seminggu yang lalu ia dipaksa untuk merelakan kepergian orang terkasihnya. Sanggupkah ia tetap berdiri tegar, menjalani lika-liku kehidupan di saat ia telah kehilangan salah satu cagak yang menjadi topangan ia berdiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu Hati
Teen Fiction[15+] ROMANCE "Aku tahu, dirimu kini hanya delusi. Namun, kenangan di hati 'kan slalu terpatri." Embun Mentari "Lupakan kenangan tentangku. Bukalah lembaran baru tanpa aku yang menjadi poros hidupmu." Langit Angkasa *** Embun Mentari, seorang gadi...