❄️Episode 9❄️

57 28 44
                                    

[Warning : Alur Campuran!]

Bandung Indonesia
2017

Rintik hujan kian deras. Menghujam bumi dengan pasukannya. Angin malam yang dingin pun turut menambah pasukan. Air turun deras menghasilkan suara yang khas. Tak henti-henti seolah tengah menumpahkan tangis yang sempat tertahan. Pun dengan Embun, ditemani hujan ia menumpahkan tangisnya. Raungannya bersahut-sahutan dengan gemericik tetesan air.

Tak tahu lagi, entah berapa lama ia jatuh dalam kubangan air mata, yang jelas kini wajahnya telah pucat bahkan matanya memerah karena terlalu lama mengalirkan liquid bening.

"Kenapa Tuhan selalu mengambil orang-orang terkasihku, kenapa?"

Embun merasa dirinya sudah tak berbentuk lagi. Semuanya telah hancur, pun dengan kepingan semangat hidupnya yang mulai pudar.

Beberapa jam yang lalu adalah pemakaman kedua orang tuanya. Mereka tewas dalam kecelakaan pesawat saat melakukan perjalanan bisnis. Tak ada lagi yang dapat menghancurkan hidup Embun bila bukan kembali ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi. Kedua orang tuanya pergi, bahkan dalam keadaan belum berdamai dengannya. Itulah yang membuat Embun merasa berdosa, ia belum sempat meminta maaf, tapi nahas kedua orang tuanya telah tiada.

Ting tong!

Suara bel rumah berbunyi. Embun yang terlalu lemas engga bangkit untuk membuka pintu. Namun, suara bel kembali berbunyi beruntun membuat risi, sehingga mau tidak mau Embun berjalan gontai untuk melihat siapa gerangan yang mengganggunya.

Dibukanya pintu besar itu, memunculkan seseorang dengan senyum hangat. Melihatnya membuat air mata Embun yang sempat terhenti kembali mengalir. Tanpa kata Embun menubrukkan badannya dan memeluk orang itu. Menyembunyikan wajah penuh air mata itu ke dada bidang orang yang ia peluk.

Karena tak ada tanda-tanda Embun melepaskan dekapannya. Orang itu mengangkat Embun ke dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Embun sedikit terperanjat ketika tubuhnya diangkat ke atas. Namun, ia tak jua melepaskan pelukannya pada orang itu. Malah semakin mengerat.

Orang itu duduk di sofa ruang tengah dengan Embun yang berada di pangkuannya.

"Lepasin dulu, dong, pelukannya! Mau lihat wajah jeleknya," ujar orang itu sambil terkekeh.

Embun meregangkan pelukannya, mendongak menatap wajah tampan kemudian memundurkan sedikit badannya. Masih dalam pangkuan orang itu Embun bertanya dengan sorot putus asa. "Langit, kenapa Tuhan jahat banget sama Embun? Kenapa Dia harus menuliskan garis takdir seperti ini untuk keluarga Embun. Bahkan kepergian Aa saja Embun belum sepenuhnya ikhlas, tapi kenapa Tuhan malah membawa Ayah-bunda juga?"

"Sstt ... Embun ngga boleh bilang seperti itu, itu semua sudah kehendak Tuhan. Jodoh, rezeki, maut itu telah ditakdirkan sebelum manusia itu lahir ke dunia dan tidak ada seorang pun yang mampu mengubah takdir. Jika sekarang Ayah-bunda Embun pergi berarti memang sudah waktunya mereka pergi menghadap Tuhan. Ingat, dibalik suatu kejadian pasti ada hikmah yang dapat kita jadikan pelajaran." Langit tersenyum lembut. Tangannya terulur mengusap lelehan air mata di pipi Embun.

"Sekarang ikhlaskan kepergian Ayah-bunda dan Aa. Embun tahu, kalau manusia yang telah meninggal tidak akan merasa tenang bila masih ada orang yang belum mengikhlaskan kepergiannya. Maka dari itu, Embun harus mengikhlaskan kepergian mereka agar mereka juga tenang di alam sana," ujar Langit.

"T–tapi sakit, Langit. Di saat orang yang paling kamu sayang pergi ninggalin kamu jauh, apa Langit ngga sedih?"

"Sedih itu pasti, kita diberi oleh Tuhan yang namanya emosional. Wajar, kok, kalau kita bersedih karena seseorang pergi ninggalin kita, yang tidak boleh itu kita terlarut dalam kesedihan itu dalam jangka waktu yang lama."

Belenggu Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang