[Warning : Alur Campuran!]Manhattan, New York.
September, 2021Angin berembus kencang menggugurkan helai demi helai daun dari rantingnya. Begitu malang harus melayang-layang di udara tanpa batas waktu. Seperti halnya pohon mapel besar itu, ia harus merelakan helai demi helai daunnya untuk pergi bersama angin. Menyapa tiap umat dengan senyum gembira.
Begitu pulau selembar daun maple berwarna oranye kemerahan itu. Dengan gembira ia menyapa seorang gadis yang tengah duduk di balkon berteman secangkir kopi hangat. Sehelai daun itu jatuh tepat di samping Pak Cangkir yang memuat cairan kecoklatan—perpaduan kopi dengan susu. Namun sia-sia, si gadis tak memerdulikan kehadirannya. Si gadis hanya memandang kosong ke depan tanpa repot-repot meliriknya. Haruskah sang daun menampilkan wajah murungnya?
Tak lama terdengar desahan napas yang cukup keras. Seolah berusaha melepaskan beban yang membelenggunya. Akhirnya si gadis melirik sehelai daun itu, membuat si daun mau tak mau menyunggingkan senyumnya. Diraihnya helai daun itu kemudian si gadis tersenyum. Kata orang daun maple yang terbang menghampiri seseorang itu membawa keberkahan. Diyakini juga sebagai pertanda baik. Apakah itu tandanya si gadis akan mendapatkan kabar baik?
"Hai daun, apakah kamu datang kepadaku membawa keberuntungan? Saat ini aku sangat membutuhkan seseorang untuk tempatku berbagi cerita. Maukah kamu menemaniku?" ujar si gadis.
"Baiklah, mulai sekarang kamu adalah temanku. Perkenalkan aku Embun, Embun Mentari, dan kamu akan aku beri nama stetis yang memiliki arti keberuntungan."
Entahlah ini wajar atau tidak bagi masyarakat New York saat dihampiri daun maple. Namun, berbicara dengan daun bukankah terlihat aneh?
"Daun, aku sedang merindukan seseorang. Seseorang yang mengajariku apa arti bersyukur, cinta, kasih sayang, juga ikhlas. Namun sampai sekarang aku belum menepati janjinya. Janji konyol yang entah mengapa terasa berat bagiku sekarang. Aku belum bisa mengikhlaskan kepergiannya. Apa aku berdosa karena telah melanggar janji?" tanyanya pada helai daun di tangannya.
Sorot mata Embun mulai menyendu. "Ingin sekali aku protes ke hadapan Tuhan atas takdir yang Dia gariskan untukku. Namun itu adalah hal yang tidak mungkin, apalah aku yang hanya seorang hamba ingin menandingi-Nya."
"Tak mengertikah bahwa aku benar-benar merindukannya? Rindu bagaimana ia tersenyum. Rindu gombalan recehnya yang demi apa pun sangat menggelikan. Rindu suara seraknya yang berubah menjadi merdu ketika bernyanyi. Aku rindu. Tak bisakah waktu berputar ke masa lalu. Aku ingin lebih lama lagi bersamanya sebelum perpisahan yang menyakitkan ini."
"Daun, apakah kamu ingin mendengar sedikit kisah tentang dia?"
***
Bandung, Indonesia
Juli 2016Memasuki musim kemarau, matahari tersenyum cerah pagi ini. Senyuman hangat itu seolah menular pada seorang gadis berkuncir dua dengan hiasan pita. Dengan balutan seragam putih biru dan tas di punggung Embun berjalan dengan riang ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu Hati
Ficção Adolescente[15+] ROMANCE "Aku tahu, dirimu kini hanya delusi. Namun, kenangan di hati 'kan slalu terpatri." Embun Mentari "Lupakan kenangan tentangku. Bukalah lembaran baru tanpa aku yang menjadi poros hidupmu." Langit Angkasa *** Embun Mentari, seorang gadi...