❄️Episode 14❄️

29 16 23
                                    

Manhattan, 2021

Embun terbangun dari tidurnya. Selalu seperti ini. Malam-malamnya selalu dihantui rasa dosa di masa lalu. Kepergian Langit memang membawa dampak besar dalam hidupnya. Sampai saat ini pun ia tak lepas dari bayang-bayang itu.

Seperti biasa, setelah ia sadar dari bunga tidurnya ia akan menangis kencang dan tak bisa tertidur sampai sang fajar menyapa. Hanya duduk termenung dan sesekali menggoreskan ujung cutter di lengannya. Berharap darah yang menetes turut serta membawa kesedihannya.

Angin bertiup kencang, gorden putih melambai-lambai. Ia lupa menutup jendela di samping kamar. Melirik jam dinding, pukul dua dini hari. Lalu memusatkan pandangan kembali ke gorden yang tertiup angin. Tak ada niatan menutup jendela meski udara semakin terasa dingin. Namun, Embun butuh itu untuk mendinginkan badannya yang terasa panas setelah mimpi itu hadir.

Mengisi sunyi, Embun menggumamkan bait lirik dari lagu favorit Langit. Tak sadar bahwa si empu menghampirinya. 

"Tidur Embun!"

Embun menoleh, menatap Langit yang berdiri di dekat gorden yang masih melambai-lambai. Di sana Langit masih seperti yang dulu, tetap tampan membuat Embun jatuh sejatuh-jatuhnya ke dalam pesona remaja itu. Hanya saja kulitnya lebih pucat dari dulu dan yang paling menyesakkan ia tak bisa menikmati pelukan hangat remaja itu lagi.

"Aku tak bisa tidur, Langit." Terlihat Langit berjalan mendekati Embun.

"Istirahatlah, besok kamu akan berkencan dengan Edward. Jangan sampai kamu mengacaukannya." Embun merasakan elusan lembut di pucuk kepalanya.

Kembali termenung, ia sedikit bingung. Mengapa Langit masih juga muncul di saat ia sudah bersama orang lain? Bukankah seperti janjinya dulu, Langit akan berhenti mendatanginya bila ia telah bersama dengan 'orang baik' yang Langit maksud? Pertanyaannya apakah Edward bukanlah 'orang baik' pilihan Langit? Apakah ada orang yang lebih baik dibandingkan Edward?

"Langit, kenapa kamu masih menyambangiku? Bukankah seharusnya kamu tidak lagi datang setelah aku bersama 'orang baik' itu?"

"Entahlah Embun, aku pun tak tahu," jawabnya. Tak mungkin Langit katakan bahwa bukan Edward yang ia maksud 'orang baik'. Dia tak ingin Embun kembali kepikiran tentang hal ini. Biarlah Embun menemukan jawabannya sendiri.

"Lebih baik sekarang kamu tidur, aku akan bernyanyi untukmu!" Embun menyamankan diri berbaring di kasur empuknya. Matanya mulai terpejam menikmati suara merdu Langit. Turut hanyut dalam buaian mengantarkan Embun ke dalam mimpi indah.

Dalam hal seperti ini saja, Embun masih bergantung pada Langit. Dia yakin lepas dari bayangan Langit tak semudah itu meski ia kini telah memiliki Edward.

•••

Edward telah bersiap dengan pakaian casual yang membuat kadar ketampanannya naik berkali lipat. Mematut diri di depan cermin dengan sesekali ber-pose layaknya model. Persis seorang ABG yang mabuk asmara.

Hari ini dia berencana jalan-jalan menikmati Street-food bersama Embun untuk kulineran bersama. Tempo lalu Embun berkata padanya bahwa ia mengingkan sekali. Lalu, sebagai kekasih yang baik, Edward berusaha mewujudkan keinginan kekasihnya itu.

Setengah jam lagi dari waktu yang ia janjikan untuk menjemput Embun. Cukup waktu untuk melesat dari apartemen miliknya. Dengan ala selebriti papan atas ia berjalan layaknya di atas karpet merah di sepanjang lorong apartemen. Tak jarang wajah sejuta kharisma itu mendapat decak kagum dari orang yang ditemui.

Sesuai perkiraan ia sampai tepat waktu di apartemen Embun. Ia melihat kekasihnya memakai dress yang selaras dengan warna bajunya---abu-abu, tak lupa riasan tipis yang menambah kesan manis. Sangat pas untuk bersanding bersama pria tampan sepertinya.

"Morning, Honey?"

"Morning, Ed." Embun masih kaku bila harus menggunkan panggilan yang menurutnya sangat cheesy itu. "Yuk, keburu panas!"

Mobil pun melaju, meninggalkan kawasan tempat tinggal Embun juga sesosok yang menatap kedua insan itu dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Rupanya kamu sudah bahagia, Embun."

•••

Embun memasuki apartemennya dengan langkah gontai. Menghabiskan seharian penuh bersama Edward cukup membuat tubuhnya lelah. Melepas high heels lalu melemparnya asal. Pun dengan tas yang tersampir di pundak. Berjalan menuju dapur, mengambil air dingin untuk menetralisir rasa haus. Setelahnya ia kembali ke ruang tengah, merebahkan diri di sofa empuk.

Pikiran mulai melanglang buana. Membandingkan kehidupan sebelumnya dengan satu bulan terakhir ini. Tak terdapat perubahan signifikan, atau bahkan tak ada bedanya. Ya, sudah satu bulan lamanya Embun menjalin hubungan dengan Edward. Akan tetapi, bagi Embun belum ada kecocokan dalam hubunganya.

Embun merasa tak ada bedanya antara sebelum dan sesudah menjadi kekasih Edward. Kecuali pria itu yang lebih posesif terhadapnya. Selebihnya tak ada bedanya. Entahlah, mungkin mereka butuh waktu lebih lama lagi untuk lebih memahami satu sama lain.

Beda dengan ketika ia menjalin hubungan dengan Langit dulu. Setiap detik, menit, jam, dan harinya ia selalu dibuat jatuh semakin dalam oleh pesona sosok kekasihnya dulu. Tidak, Embun tidak boleh membandingkan Edward dengan Langit. Bagaimanapun mereka adalah dua orang yang berbeda, tak seharusnya ia membandingkannya, 'kan? Toh, kalaupun ia menerima Edward dengan tulus menjadi kekasihnya seharusnya ia menerima Edward apa adanya. Tak perlu membawa orang lain untuk menjadi acuan.

Menghembuskan napas sebentar, Embun terlalu lelah dengan semua drama dalam hidupnya. Memang dia sendiri terkadang tanpa sadar membuat hidupnya semakin sulit. Tak mungkin ia terus bertahan dalam keadaan yang membuatnya tak bebas dengan rasa bersalah menghantui. Tak mungkin pula ia lari dari kenyataan yang demi apa itu bukanlah hal bijak. Lalu ia harus apa, jujur ia ingin mengakhiri semua ini, tapi harus dengan cara apa? Ia bingung.

Belenggu Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang