❄️Episode 10❄️

51 23 49
                                    

[Warning: Alur Campuran!]

o0o

Manhattan, New York, 2021
7.56 p.m.

Setelah Embun bertemu Langit pagi tadi, kini gadis itu tampak berantakan. Pikirannya kalut memikirkan semua perkataan laki-laki itu. Mengikhlaskan pergi adalah topik sensitif Embun beberapa tahun terakhir. Baginya, melepaskan lebih sulit dibandingkan menggapai.

Angin malam menyapa, membelai halus permukaan korden membuatnya terlihat melambai-lambai. Sinar bulan menimpa, masuk ke celah teralis jendela memunculkan suasana temaram ruang persegi itu.

Di sana, di atas ranjang berselimut bed cover putih tulang seorang gadis terduduk dengan pandangan kosong. Dia Embun, sedari berjumpa dengan sosok Langit pagi tadi, ia masihlah betah di sana; tak beranjak sedikitpun dari ranjang.

Embun tak tahu harus merespon bagaimana tentang permintaan Langit tadi. Ini bukan yang pertama kali Langit memohon untuk dilepaskan. Ini sudah beribu-ribu kali yang bahkan Embun sendiri tidak dapat menghitungnya. Apakah sekarang sudah waktunya ia mengikhlaskan Langit pergi? Namun, tak dipungkiri jauh di dalam lubuk hatinya merasa berat.

Embun bingung, dia dilema. Langkah apa yang harus ia ambil?

"Kenapa Engkau memberiku jalan takdir seperti ini, Tuhan. Jujur aku muak dengan semua ini. Tak bisakah Engkau mengabulkan doaku? Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan sebentar saja, kumohon," lirihnya yang bersahutan dengan lelehan air mata.

Dia terlalu lelah akan hidupnya sendiri, karena nyatanya di dunia ini ia memang sendiri. Tak seperti dulu sewaktu Langit masih menemaninya. Dia yang menjadi alasan Embun kembali hidup disaat orang-orang yang ia sayangi meninggalkannya jauh.

"Bahkan kamu tidak muncul lagi, Langit. Apa sebegitu tersiksanya dirimu sekarang, hingga tak mau lagi menemuiku?" gumam Embun. Ya, sejak kemunculannya tadi pagi Langit tak lagi menampakkan eksistensinya. Biasanya sosok tampan itu akan selalu mengganggu Embun kapan pun itu.

"Maafkan, aku. Aku terlalu bodoh yang masih mengharapkanmu kembali. Maafkan aku yang sudah membuatmu tersiksa selama ini. Mulai sekarang ... aku akan ... melepaskanmu, Langit." Nada bicaranya semakin melemah di akhir kalimat.

Tangisnya lolos, detak jantungnya tak terkontrol. Tarikan napasnya mulai sesak, serta hatinya seperti ditikam belati. Sangat sakit untuk didefinisikan. Namun, Embun berharap keputusannya ini tidak pernah salah. Ia ingin bahagia, begitu pun ia ingin Langit tenang di alam sana sampai ia menyusulnya nanti.

"Aku harap ... keputusan ini ... adalah yang terbaik. Maafkan aku telah menyakitimu."

o0o

Hari berganti, Embun terbangun dari lelapnya kala sang surya mulai merangkak naik ke atas. Dengan kondisi tubuh yang lusuh, wajah pucat dengan kantung mata hitam, serta tubuh yang terlihat ringkih, ia memaksa bibirnya melengkung ke atas.

Ia sepakat akan berubah. Menikmati hidup yang ia jalani tanpa ada beban yang membayangi. Dengan senyum yang terus terukir ia bangkit dari ranjang dan mulai menata diri. Hari ini putuskan untuk membolos mata kuliah. Ia rasa membutuhkan refreshing untuk menaikkan moodnya pagi ini.

Dering ponsel membuyarkan lamunan. Menilik sebaris nama si penelepon, nama Edward muncul di sana. Dengan cepat ia menggeser ikon hijau.

"Halo?"

"Morning Embun."

"Morning too, Ed. Why, tidak biasanya kamu meneleponku pagi-pagi?"

Belenggu Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang