❄️Extra Caphter❄️

11 3 0
                                    

Kala itu, di bulan Desember tahun 2017, Langit tiba-tiba meminta Barra untuk berbicara empat mata dengannya. Tidak diketahui dengan jelas apa maksud Langit karena sifat remaja itu yang tidak mudah ditebak.

Di sinilah Barra, di depan gerbang SMA NEGERI BANDUNG dengan seragam khas anak STM. Penampilan yang urakan serta seragam yang melekat di tubuhnya membuat remaja itu menjadi pusat perhatian bahkan ada yang membicarakannya diam-diam. Dia berjalan menghampiri Langit yang katanya berada di taman dekat perpustakaan.

"Woy, perpustakaan di mana?!" tanya Barra kepada seorang siswa. Sangat tidak sopan!

"Santai, dong!" balas siswa itu.

"Gue lagi ngga mau ribut, cepet kasih tau!" decak Barra. Siswa itu dengan ogah-ogahan menunjukkan ruang perpustakaan.

Sesampainya di sana, tepat di samping gedung terlihat Langit dan Embun yang tengah membaca buku di bawah pohon. Dengan langkah santai dia menghampiri keduanya. "Oy!"

Langit dan Embun sontak menoleh. Berbeda dengan Embun yang menatap Barra seolah pelaku kriminal, Langit menanggapi kedatangan remaja itu dengan santai.

"Langsung aja, ngapain lo ngajak gue ketemu?" ujar Barra setelah berhadapan dengan Langit.

Embun menoleh menatap Langit. Mimik mukanya menyiratkan tidak paham akan maksud perkataan Barra dan butuh penjelasan dari Langit. "Nanti aku jelasin ke kamu." Seolah paham Langit berkata kepada Embun.

"Ada sesuatu yang ingin gue bicarain sama lo, penting, tapi bukan di sini tempatnya," jawab Langit.

Barra menaikkan sebelah alisnya. "Lo ikut gue!" ujar Langit.

"Langit," lirih Embun. Dia menahan pergelangan tangan Langit yang hendak melangkah pergi. Dia hanya takut Barra akan berbuat macam-macam dengan langit.

Langit menatap Embun dengan lembut, mengusak rambut hitam itu gemas. "Aku bakal baik-baik aja Embun," balasnya seraya tersenyum manis.

Barra mendecih menyaksikan keromantisan mereka. Cih, mentang-mentang dirinya jomlo harus diabaikan begini.

"Ayo!" Langit mulai berjalan diikuti Barra di belakangnya. Menyisakan Embun sendiri yang hatinya tengah gelisah, takut terjadi sesuatu dengan Langit. Tentu dia paham dengan perangai Barra. Jadi, dia hanya waspada.

•••

Langit dan Barra telah sampai di sebuah gedung kosong bekas pabrik semen. Tidak ada alasan kenapa memilih tempat ini  untuk membicarakan sesuatu yang penting itu. Memasuki gedung tak berpenghuni itu, semakin masuk ke dalam, cahaya matahari berangsur berkurang. Suasana di sana sedikit pengap, senyap dan sesekali terdengar jangkrik karena memang letaknya agak jauh dari pemukiman. Cocok untuk dijadikan tempat membicarakan hal yang rahasia.

"Kenapa Lang?"

"Lo pasti udah tahu masalah Embun karena lo temen satu sekolahnya dulu dan orang yang turut andil merusak psikis cewek gue," cibir Langit.

"To the point. Lo kalau mau balas perbuatan gue dulu, sini tonjok muka gue! Gue ngga bakal melawan. Jadi, ngga usah banyak omong!"

Langit terkekeh, menepuk-nepuk pundak Barra. "Lo dari dulu ngga berubah. Gampang kesulut emosi."

Barra memandang datar Langit. "Gue ngga mau ribut sama lo, justru gue mau minta bantuan lo," ujar Langit.

Barra menaikkan sebelah alisnya. Sok cool, decih Langit dalam hati. Karena Langit tak kunjung bicara, kini Barra yang angkat bicara. "Apa? Cepet ngomong atau mau gue tonjok? Lo ngabisin waktu gue aja."

Langit menghembuskan napasnya pelan. "Gue mau ngusut kasus Embun dulu. Gue ngga tega lihat dia terpuruk dan disalahkan atas kematian Bang Awan. Jadi,  lo harus bantu gue."

Belenggu Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang