❄️Episode 13❄️

36 20 31
                                    

[warning : kalau engga dikasih tanggal, berarti nyambung dari part sebelumnya, ya!]

Dua jam lebih menunggu, lampu yang semula berwarna hijau kini berubah warna menjadi merah. Dengan tertatih ia perlahan bangkit, mendekat ke pintu. Menunggu pintu itu akan dibuka dan mendapatkan gambar gembira.

Tak lama, keluar seorang dokter dari sana. Raut wajahnya tak bisa didefinisikan membuat perasaan ibu satu anak itu was-was. Terlalu takut mendengar hasil operasi yang baru saja dilakukan untuk sang anak.

Sang dokter menghela napas. Wajah Jingga semakin pucat, takut sekelebat yang melayang di pikirannya akan menjadi nyata. "Saya tahu, Ibu, pasti begitu menyayangi Langit. Namun, apa boleh buat, Tuhan lebih menyayanginya."

Sejak kalimat itu terucap, dunia Jingga hancur seketika. Kaki tak lagi mampu menopang. Tubuh lunglai tak bertulang. Bola mata yang terus mengalirkan air mata. Hatinya kian sesak, jantung terasa berhenti berdetak. Ia hancur untuk kedua kalinya.

"Engga, Dok. Langit, putra saya masih di sini. Dokter bohong, 'kan?!" Tangan yang bergetar itu ia ajak bergerak meremas jas dokter itu. Demi apa pun ia tidak siap untuk ditinggalkan kembali.

"Maaf, Bu, ini memang sudah kehendak takdir. Saya yang hanya seorang hamba-Nya tak bisa berbuat banyak kalau Tuhan sudah berkehendak. Ikhlaskan putra Anda, ia sudah tenang di sana," ujar dokter itu.

"Ibu selalu ingin Langit bebas dari sakitnya, 'kan? Sekarang dia sudah tidak merasakan sakit lagi. Dia sudah bahagia, Bu." Tak dipungkiri sang dokter juga merasa kehilangan salah satu pasien yang sudah ia rawat semenjak 3 tahun lalu. Tak sadar air matanya turut menetes. Ikut merasa sesak kala Langit yang sudah ia anggap anaknya sendiri pergi secepat ini.

Jingga menggeleng. Ia memang berharap putranya terbebas dari rasa sakit itu, tetapi bukan seperti ini caranya. Tubuhnya kian melemas, pandangannya kosong, tetapi dengan terus mengeluarkan air mata.

Perlahan sang dokter memapah tubuh lemas itu menghampiri Langit yang terbaring di bangsal dengan beberapa alat medis yang masih menempel. Garis lurus terlihat di layar elektrokardiogram. Menandakan sukma yang tak lagi bersemayam dalam raga.

Dengan lembut, Jingga membelai pipi tirus sang putra yang suhu tubuhnya mulai mendingin. Dalam benaknya, ia melihat sang putra yang tertidur tenang, bukan pergi meninggalkannya tanpa pamit. Bibirnya mengulas senyum tipis, terlihat seperti seorang ibu yang tersenyum ketika putra kecilnya tertidur lelap.

"Adek tidurnya nyenyak banget, ya?" Sederhana tapi menyayat hati.

"Tapi bunda kepingin lihat Adek bangun. Bangun, ya? Adek 'kan belum peluk bunda sejak bunda pulang. Maaf, kali ini bunda ngusik tidur pangeran kecil, bunda. Bangun, ya, Nak? Adek ngga kangen sama bunda, hm?"

Tak ada respon, membuat hati Jingga kembali terasa terhimpit baru besar. Sesak hingga kesulitan bernapas. Jingga kembali menangis. Meraung-meraung tanpa makna berharap sang putra mendengar tangisnya dan akan terbangun.

"Lihat, Langit buat bunda nangis. Langit ngga pernah suka melihat bunda nangis, 'kan? Sekarang bangun, usap air mata bunda!"

"Bangun, sayang! Tepati janji kamu untuk tidak akan meninggalkan bunda seperti ayah. Please, bunda mohon! Bangun Langit!"

Gejolak hati membuat kesadaran Jingga menghilang. Tubuhnya limbung, tak mampu menerima segala kenyataan pahit ini. Dia berharap semoga ini hanya mimpi dan saat ia terbangun nanti semuanya akan baik-baik saja. Ya, semoga saja.

•••

Embun mengernyit ketika mobil yang ia tumpangi bersama Bara memasuki pelataran rumah sakit. Bara sedari juga diam saja, hanya sesekali memperlihatkan raut gelisah walau tak terlalu kentara.

Belenggu Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang