❄️Episode 11❄️

41 22 25
                                    

Bandung, 11 Januari 2018

Senyum cerah tersungging di bibir mungil itu. Wajahnya berseri-seri merasakan euforia yang menerpa hatinya. Melangkahkan kaki dengan riang dengan sesekali melompat. Tingkahnya sungguh menggemaskan seperti seorang balita yang mendapatkan mainan barunya.

Cukup lama ia berjalan, tetapi letih tak jua ia rasakan. Di sana, di taman kota yang berhiaskan langit pagi ia berjalan tanpa alas di atas rumput teki yang menampilkan butiran air. Seperti namanya, ia begitu menyukai sensasi menginjak rumput yang berembun. Sangat menenangkan seakan ia dilahirkan kembali.

Menilik jam yang melingkar di tangan, sudah lima belas menit lebih ia berjalan tak tentu arah. Matahari pun kian merangkak naik, semakin menguatkan tekad untuk berhenti lalu mencari tempat berteduh.

"Langit kemana, ya? Kok lama banget." Embun celingak-celinguk barangkali ia menemukan eksistensi Langit. Namun, nihil, sosok yang ia cari tak ada di sana.

"Engga apa-apa, deh, mungkin jalanan macet. Embun harus nunggu beberapa menit lagi." Bohong, itu hanya bualan semata untuk menenangkan hatinya, jalanan daerah ini tidak sepadat di tengah kota sehingga harus mengalami macet beberapa lama.

Satu jam berlalu, kedatangan Langit tak juga tampak. Membuat senyuman manis Embun perlahan memudar. Hatinya yang berdebar-debar kini berganti dengan resah. Sedari tadi kakinya tak ingin diam. Berjalan mondar-mandir tak tentu arah.

"Apa jangan-jangan Langit lupa, ya? Tapi sepertinya engga mungkin karena dia sendiri yang memintaku datang."

Sejujurnya dalam hatinya ia merasa kecewa. Sebelum-sebelumnya Langit tidak pernah seperti ini, cowok itu pantang mengingkari janjinya terlebih orang itu adalah Embun yang merupakan prioritas kedua setelah ibunya.

"Sabar, Embun, mungkin Langit sedang ada di jalan."

Selepas berkata demikian, Embun duduk di kursi taman tepat di bawah pohon mangga. Rerimbunan daun cukup untuk membuatnya tidak merasa kepanasan. Selanjutnya, ia memikirkan kejutan-kejutan yang mungkin akan Langit berikan untuknya. Ya, hari ini adalah ulang tahunnya. Ia sangat berharap di tahun ini ia bisa menghabiskan waktu bersama orang yang ia sayangi.

"Kira-kira, Langit kasih aku kejutan apa, ya? Tahun kemarin dia pura-pura mati biar aku panik. Tahun ini dia pura-pura mati lagi engga, ya?" monolognya sambil terkekeh ringan.

Embun teringat, saat itu Langit bersandiwara mengalami kecelakaan dan akhirnya meninggal dunia. Embun yang waktu itu sedang membuat kue di rumah langsung bergegas pergi ke rumah sakit setelah mendapat telepon bila Langit mengalami kecelakaan.

Saking panik, ia berlari tunggang langgang menuju rumah sakit melupakan fakta bahwa ia bisa memesan taksi online agar cepat sampai di sana. Sesampainya di rumah sakit pun bukannya mendapat kabar yang setidaknya agak menenangkan justru ia mendapat kabar bahwa Langit telah pulang ke pangkuan Tuhan.

Seakan skenario yang Langit buat berjalan mulus tanpa hambatan, Embun menangis tersedu-sedu tanpa memedulikan lagi penampilannya yang kusut. Namun, sedetik kemudian rasa sedih itu berubah menjadi rasa kesal, marah, bahagia, juga terkejut ketika Jingga; bunda Langit, membawa sekotak kue ulang tahun lengkap dengan lilin berangka 16 dan menyanyikan lagu ulang tahun.

Kala itu Embun langsung memukul dada Langit bertubi-tubi lantaran terlalu kesal, sedangkan si cowok hanya tertawa renyah melihat Embun yang tampak kacau.

"Lucu, sih, kejutannya, tapi bikin jengkel," gumam Embun.

o0o

Di sisi lain, seorang wanita paruh baya tampak kacau dengan linangan air mata yang tak kunjung surut, terus membanjiri pipi yang mulai keriput itu. Hatinya begitu sakit melihat buah hatinya harus mengalami hal seperti ini. Dengan kecepatan tinggi ia melajukan mobilnya membelah jalanan kota. Kaca mobil di sebelah kemudia sengaja ia buka untuk meneriaki pengendara lain agar dapat segera melaju di kala jalanan macet tiba-tiba menghampiri.

"Tolong, beri saya jalan. Saya harus segera membawa putra saya ke rumah sakit!" teriaknya dengan linangan air mata. Melihat itu, membuat pengendara lain menjadi iba dan memilih menyingkir agar mobil wanita itu segera melaju.

Melirik kursi belakang di mana anaknya terbaring lemah dengan noda darah melekat di kaos putih yang dikenakan. Hatinya begitu sakit, ketika putranya harus mengalami ujian seperti ini. Ibu mana yang tega melihat anaknya terluka dan hidupnya hanya bergantung pada obat-obatan yang diminum? Jika bisa, ingin sekali ia memindahkan sakit anaknya ke dalam dirinya. Sungguh ia tidak tega melihat anaknya tersiksa.

Tadi, ketika wanita itu pulang dari perjalanan bisnisnya, ia bergegas menuju kamar sang anak untuk melepaskan rindu mengingat sudah satu bulan lebih tidak berjumpa. Ia rindu memeluk putra semata wayangnya yang meski telah beranjak remaja, tetapi masih bersifat kekanakan bila bersama dirinya.

Namun, ketika si wanita membuka pintu kamar sang anak, bukan pelukan hangat yang ia dapatkan melainkan tubuh tegap sang anak yang terjerembab di lantai. Ia juga melihat beberapa tetes darah di marmer tempat ia berdiri. Tak ingin panik, ia segera membalik tubuh itu. Betapa terkejutnya bahwa darah itu berasal dari sang anak. Terlihat jejak yang masih terlihat basah mengalir dari hidung dan sudut mulutnya. Badannya pun terasa panas.

Matanya bergetar, tubuhnya kelu, tak lama ia menumpahkan tangisnya. "Langit?!"

Dengan tangan bergetar ia meraih ponsel lalu menghubungi sekuriti untuk menyiapkan mobil dan membantunya mengangkat sang anak untuk dibawa ke rumah sakit.

Wanita itu meraih telapak tangan sang anak yang berlumuran darah-yang digunakan untuk menutupi mulut di saat terbatuk darah, tak ia pedulikan bila darah akan mengotori.

"Bertahan, ya, Nak. Ingat janji kamu sama bunda untuk tidak pernah meninggalkan bunda sendiri seperti ayah," lirihnya.

Semakin sesak di kala memorinya memutar, mengingat mendiang sang suami pergi meninggalkannya dengan sang anak dengan riwayat penyakit yang sama; leukimia.

Belenggu Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang