Original Story by Wira Yunila
Tahun terbit: 2013
Happy Reading!
Ia mendatangi beberapa anak tengah bermain-main di salju. Dengan lincah mereka berlari-lari kecil sambil melempar sekepal salju kepada yang mengejarnya. Mereka tampak sangat tenang, seperti tak ada beban. Berlari, ia berlari dengan tenang. Tertawa, ia tertawa dengan sepenuhnya, ia menangis, menangis juga dengan seadanya, setelah itu? Ia akan bermain kembali. Enak sekali jadi mereka! Sinb mendesah kecil sambil mempererat tali jaketnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja ia ingin menjadi anak kecil lagi. Ia tidak ingin memikirkan masalah percintaannya, masalah hidupnya yang membuatnya hampir setengah gila. Kepergian Ayahnya, sudah sangat membuatnya gila, ditambah lagi kepergian sahabatnya, Kim Jungwoo. Itu adalah tamparan yang sangat keras untuknya, bahkan lebih dari sekedar tamparan. Itu adalah cambukan, atau pembunuhan? Apalah namanya, yang pasti ia benar-benar merasa hidupnya sangat suram. Ia tidak pernah membayangkan akan menghadapi hal sulit seperti ini. Kehilangan dua orang yang begitu berarti dalam hidupnya.
Air mata lembut mengalir di pipinya. Ia merapatkan lutut dan membenamkan wajahnya ke dalam lutut itu. Di saat seperti ini, ia lebih memilih untuk menyembunyikan tangisnya dibandingkan harus malu karena dilihat oleh banyak orang disana. Tidak hanya itu saja, dengan begitu ia akan bisa menumpahkan semua sesak dadanya hingga akhirnya akan mereda dengan sendirinya. Orang mana tahu dia tengah menangis? Mungkin saja.
Tangisnya mulai pecah menjadi suara yang memilukan. Ayah.., maafkan aku. Aku memang bukanlah anak yang baik. Aku takut dipermalukan mereka. Nyaliku terlalu kecil, tak sepertimu! Ia menceloteh sendiri dalam hatinya. Ia merasa sangat terpukul mengingat lagi apa yang dia lakukan pada mereka. Apa yang sudah dia berikan untuk membahagiakan orangtuanya? Belum ada. Ayahnya sangat berharap ia bisa meneruskan profesinya sebagai mangaka, karena ia bermimpi untuk itu. Tapi apa? Sinb malah mengecewakannya.
Sebenarnya tidak hanya Ayahnya yang bermimpi untuk itu, ia juga menyukai komik Jepang itu sejak kecil. Ia suka membaca cerita-cerita tentang Putri Sizuka yang memimpin rakyatnya dengan memberi mahkota kepada gadis yang baik. Akhirnya, putri itu mendapatkan pangeran. Ia persis ingat saat itu Ibu menceritakan cerita-cerita komik padanya waktu masih menginjak taman kanak-kanak. Sampai ia masuk sekolahpun ia masih menggemari membaca karya-karya ayahnya. Ia sering mengambil komik anak-anak yang sudah selesai dibuat oleh Ayahnya dari rak dengan sembunyi-sembunyi, kemudian membacanya di dalam ofuro kering agar tidak diketahuui oleh Ayahnya.
Ketika ia mulai besar, hingga ia mulai dipertemukan dengan kelas menggambar. Di sanalah ia mulai merasa bagaimana sedihnya dipermalukan. Sejak Sekolah Menengah Pertama, ia mulai merasa minder jika masuk pada kelas manga dan ia lebih memilih untuk bolos kelas daripada ditertawakan oleh seisi kelas. Hal itu bertahan sampai sekarang.
Untuk apa aku masuk ke sekolah manga jauh dari kampung? Apa hanya sekedar ingin membuat orangtuanya senang? Aku memang bodoh. Pekiknya. Mana mungkin ia menyia-nyiakan sekolah itu selama waktu hampir dua setengah tahun? Ia mendesah kecil, mengusap air matanya. Oh Tuhan, aku benar-benar telah mengecewakan mereka dan yang lebih penting aku telah mengecewakan diriku sendiri. Semakin mengingatnya, semakin ia merasakan penyesalan yang teramat.
"Sinb, kenapa aku selalu saja ditakdirkan untuk melihatmu menangis?"
Ia mengusap salju yang mulai menumpuk di atas topi wol gadis itu.
Dengan cepat Sinb mendongakkan wajah. Kemudian ia mengalihkan pandangan begitu melihat Jaehyun tengah menatapnya. "Maafkan aku..." Sinb menundukkan wajah.
"Jangan bicara seperti itu. Aku mengerti, apa alasanmu menangis." Ia melihat gadis itu. Matanya seperti bawang merah yang dibakar. Merah dan terlihat sembab. Ia menghela napas. "Menangislah, menangislah jika itu bisa membuatmu tenang!" Ia tersenyum dan duduk di samping gadis itu. "Aku mengerti apa yang tengah kau rasakan. Karena aku juga merasakannya. Bahkan aku tidak sempat melihat wajahnya, merasakan kehangatan pelukannya walau hanya sekali saja. Ayah? Aku sempat merasakan kebahagiaan bersamanya hingga akhirnya dia juga menyusul Ibu ke sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
From Manga With Love • H E B × J J H •
FanfictionMenjadi seorang mangaka adalah impian Sinb dari kecil. Tapi, ia minder dan putus asa lantaran tidak bisa menggambar dan terus dipermalukan oleh teman-temannya. Akankah Sinb berhasil mewujudkan mimpinya? ... dan bagaimana pula kisah cinta mengharukan...