Yoon Sana
Musim dingin, Desember 2010. Di antara sekian banyak memori yang telah hilang seiring waktu berjalan, aku teringat kembali pada satu waktu, di mana kala itu badai salju menyelimuti seluruh kota, bahkan membuat akses jalan lumpuh total.
"Tae, ingatkah kau saat pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah orang tuamu?"
Aku larut dalam pikiran saat menatap dinding bercat abu-abu kamar: memikirkan sudah lama sekali semenjak warna catnya masih berwarna hijau redup. Kalau dihitung, dalam sepuluh tahun ke belakang, dinding itu sudah lebih lima kali berganti warna: mulai dari hijau redup, krem, ungu pastel, biru kelabu, bahkan kuning. Yang terakhir adalah abu-abu, pilihanku.
Entah apa yang menjadikan kami sempat diam seribu bahasa dalam waktu cukup panjang, sebelum akhirnya akulah yang lebih dahulu buka suara karena teringat momen sepuluh tahun yang lalu. Singkatnya, Taehyung marah, tetapi dia menahannya.
Meski kupeluk, dia tetap saja membatu. Asal kau tahu saja, Tae. Membiarkanmu berada di posisi ini saja membuatku sakit. Sangat sakit. Di saat hatiku pilu karena kelakuanmu, aku malah tetap mencoba bertingkah bodoh dengan memelukmu agar tidak marah lagi. Namun ... apakah aku pantas marah juga? Aku akui bukanlah hal yang bagus pergi ke apartemen pria lain, terlebih itu sudah tengah malam dan tanpa izin. Hanya saja itu tidak sebanding dengan luka yang telah dia berikan. Aku ingin dia juga merasakan sakit yang sama dengan yang aku rasakan, sampai dia menjerit hingga langit terbelah.
Kukira sepuluh tahun yang lalu adalah saat terindah, meski badai membuatku sempat mengumpat. Namun, aku rindu, sungguh rindu. Karena kala itu Taehyung memelukku erat sekali, seolah-olah takut tubuhku merasakan dingin sedikit saja. Dia minta maaf berjuta-juta kali hanya dalam waktu dua jam, katanya dia menyesal karena telah membuatku kedinginan.
Kami terjebak di dalam mobil selama hampir tiga jam. Dan baru sampai di rumah orang tua Taehyung tepat tengah malam. Itu sangat gila. Namun, tidak kusangka bahwa ibunya Taehyung benar-benar menyambut kedatanganku meski beliau telah mengantuk.
"Jangan panggil Nyonya, apalagi Bibi." Sekiranya begitulah kalimat yang paling aku ingat, tatkala Ibu Han hendak pergi ke dapur setelah berucap janji untuk membuatkan coklat panas kurang dari sepuluh menit. Dan Ibu Han menempati janjinya, beliau datang kurang dari sepuluh menit sambil membawa tiga cangkir coklat panas yang masih mengepul asap di atasnya.
Nuansa rumah itu masih sangat hangat, di dalamnya terdapat banyak tawa dan kebahagiaan. Aku yang hanya hidup sendirian, tidak lagi merasa kesepian. Ada Ibu Han, Ayah Han , Yoona dan suaminya Jo Namjoon, dan Taehyung.
Kami semua hidup baik-baik saja dalam beberapa tahun. Seperti orang-orang pada umumnya: menikah, bekerja, mengurus rumah dan keluarga, liburan sesekali, berencana memiliki anak, dan melahirkan. Apakah semua yang telah kulalui ini cukup untuk menyetarai kata 'bahagia'?
Setelah Ayah Han meninggal dunia, pelan-pelan kehidupan kami berubah.
Yang pertama berubah adalah Han Yoona, dia bahkan sangat terpuruk. Kemudian Ibu Han, beliau yang dahulu sangat hangat mulai berubah menjadi penyendiri, sampai akhirnya beliau menjadi pribadi yang apatis.
"Rupanya ingatanmu jauh lebih kuat daripada aku." Akhirnya Taehyung berucap, memecahkan atmosfer yang benar-benar telah panas.
Benar, Han Taehyung, ingatanku terlalu kuat sampai-sampai aku hampir gila karena otak yang kupunya terus-menerus mengulangi memori ingatan di mana ada wanita lain yang menempelkan bibirnya di pipimu. Itu terus-menerus berulang, membuatku pusing, bahkan ingin berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Way [TaeSana]✓
Документальная прозаPemikiran Yoon Sana terlampau sederhana, sehingga untuk percaya pada praduga tentang Han Taehyung suami yang begitu ia cinta itu bahkan susah sekali. Ia jatuh, terperosok tanpa sadar bahwa seseorang yang menjadi semesta tempatnya bernaung sudah berp...