Bab ini mungkin punya pembahasan yang sedikit berat. Mohon bijak dalam menanggapi isi cerita🙏🏻
Minggu, aku berdiri seorang diri bersandar badan pada pilar raksasa bercat putih. Angin bertiup kencang sekali bersama-sama gerimis yang masih ragu menghujam bumi. Daun-daun kering terbang tanpa permisi mengotori halaman gereja. Ranting kurus serupa dengan tulang belulang jatuh dari pohon cemara raksasa di tengah bata penyusun pekarangan. Aku memeluk diri sendiri, hampir menggigil di tengah-tengah sejuk cuaca.
Kini aku mundur selangkah sebab hujan turun dengan deras sekali, mencari perlindungan dari percikan air yang merembes akibat ditebas oleh angin kencang. Juga eratkan mantel untuk mengurangi rasa dingin. Aku sempat menoleh ke kanan dan kiri sekedar untuk memperhatikan sekeliling, bahwasanya di sini aku tidak sendirian, ada banyak orang juga yang sama-sama berteduh sementara karena tidak punya payung dan pilihan lain untuk menghindar dari hujan.
"Lebih dua tahun aku tidak melihatmu lagi. Kudengar hal buruk menimpamu. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu, Nak." Seorang pendeta bicara padaku beberapa saat lalu, sekarang aku menoleh ke belakang menatap beliau yang kini sedang duduk berdoa dengan tangan terangkat saling menangkup. Meski pada akhirnya aku dapat kembali lagi setelah ribuan doa yang terlantun di tengah perasaan takut akan kegelapan itu, aku tetap menderita. Aku teringat, saat masih kecil di panti asuhan dulu aku pernah melihat seorang biksu di biara yang sedang beribadah. Biksu itu melakukan sembahyang, selesai-mulai lagi-selesai-ulangi lagi, kata orang-orang dia sedang memohon pengampunan untuk masyarakat yang lupa pada sang penguasa semesta yang sesungguhnya. Sehingga biksu itu tiada berhenti sama sekali seolah tidak merasa lelah. Sehingga muncul tanya dalam kepalaku, apakah dia menuai hasil setelah melakukan itu untuk semua orang?
Saat aku hendak mengembalikan sesuatu yang hilang dengan sekuat tenaga tetapi tak kunjung tercapai, aku kecewa seraya mengangkat tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak putus-putusnya. Kami kehilangan anak, sama-sama hancur tapi sama sekali tidak ada yang mengerti atas perasaan yang ada padaku. Han Taehyung cuma bilang, "Cobalah untuk bangkit, tidak ada gunanya terus menerus berkabung," seolah-olah sangat gampang baginya melupakan impian yang telah lama kurangkai dengan sangat indah.
Bukannya saling menguatkan, tetapi kami justru saling menjauh. Keadaan begitu gelap dan sunyi tiba-tiba. Aku begitu kehilangan. Aku merasa ada yang terenggut tanpa sengaja. Hari-hariku selama berbulan-bulan seolah terjebak dalam dunia yang mataharinya tidak pernah terbit, melainkan cuma ada kegelapan dan duka. Setiap suara yang masuk ke dalam telinga, terdengar seperti syair-syair sedih yang berdengung tanpa henti. Ketika malam hari tanpa ada kehadiran Taehyung di sisi lain kasur, aku selalu berakhir banjir keringat sebab rasa takut yang berlebihan.
Aku tidak menginginkan hal ini menimpa pada diriku. Aku juga tidak ingin terus-menerus berkabung dalam duka seperti ini. Aku juga tidak ingin hidup dalam kegelapan tak berujung yang menakutkan seperti ini. Lantas mengapa mudah sekali Han Taehyung beserta ibunya bilang bahwa lukaku tidak seberapa seolah-olah berkabung adalah pilihanku sendiri. Aku tidak punya alasan untuk menangis, cuma sedih tetapi tidak bisa mengendalikannya. Aku takut pada segala hal, seperti trauma yang mencetak cacat dalam otak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Way [TaeSana]✓
Non-FictionPemikiran Yoon Sana terlampau sederhana, sehingga untuk percaya pada praduga tentang Han Taehyung suami yang begitu ia cinta itu bahkan susah sekali. Ia jatuh, terperosok tanpa sadar bahwa seseorang yang menjadi semesta tempatnya bernaung sudah berp...