Aku mengerjapkan mata, kamarku masih gelap. Menghela napas kecewa, lagi-lagi mimpi itu membuatku penasaran setengah mati. Padahal aku sangat ingin berkenalan dengan mereka, tapi kenyataan kembali menamparku.
Jam di dinding, sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Aku kembali memejamkan mata untuk tertidur sampai jam 6 pagi nanti. Mataku perlahan memberat, dan ... tunggu!
Saat hendak tertidur kembali, aku baru mengingat sesuatu. Aku menatap sekeliling dengan tatapan heran, bukankah kemarin sore aku tertidur di lantai? Lalu, kenapa sekarang berada di atas kasur?
☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆
Aku hampir saja memaki-maki satpam yang berjaga di depan gerbang sekolahku, jika saja ia tak membiarkanku masuk dan mengikuti jam pelajaran di kelas.
Telat satu detik saja, mungkin aku sudah habis diberi hukuman beruntun. Aku menghela napas lega saat guru yang mengajar tidak masuk, entah karena apa.
Aku melirik sekitar, dan terpaku saat menoleh tepat ke belakangku. Aku tak menyangka, ternyata Desya satu kelas denganku, dan juga tempat duduknya yang dekat denganku.
Pantas saja ia tahu siapa namaku. Tak menyadari jika aku memperhatikannya, ia tetap sibuk berkutat dengan buku pelajaran Bahasa Indonesia. Keningnya mengerut, bibirnya bergumam membacakan kata-kata yang ada di dalam buku. Sedetik kemudian, ia menghela napasnya dengan kasar, dan menutup bukunya.
"Apa ... ada yang sulit?" tanyaku, ia terlihat terkejut. Kemudian ia mengangguk, dan menghela napas lagi.
"Aku begitu buruk dengan pelajaran ini. Padahal, aku menggunakan bahasanya sehari-hari." Aku mengetuk-ngetuk meja perlahan, dengan suara yang kecil dan hampir tak terdengar.
"Kadang, apa yang kamu pelajari tidak sama dengan apa yang kamu lakukan. Bisa menggunakan bahasanya, bukan berarti juga pandai dalam pelajarannya. Semua orang memiliki kelemahannya masing-masing."
Aku menutup mulutku, terasa sok bijak dengan apa yang aku katakan. Padahal, aku sama sekali tidak pernah peduli pada siapapun. Apalagi sampai berbicara panjang lebar seperti ini hanya untuk menasehati. Rasanya ... aneh.
Lagi-lagi Desya terdengar menghela napasnya, entah sudah berapa kali ia menghela napas. Aku jadi berpikir jika ia memang sering mengeluh. Memberanikan diri untuk menggenggam tangannya, aku meyakinkannya kalau ia bisa.
"Aku yakin, kamu pasti bisa. Teruslah berusaha!"
Ia mengangguk dan tersenyum kecil. Aku jadi merasa bersalah padanya, karena tidak bisa mengucapkan hal-hal yang membuatnya bahagia dan melupakan kesedihannya.
"Maaf," kataku. Lalu aku menundukkan kepala, sangat merasa bersalah. Padahal jika dipikir-pikir kembali, aku tidak bersalah. Aku memang jarang menghibur orang, jadi ... maklum saja.
"Kenapa kamu meminta maaf?" Ia mengeratkan genggamannya. Aku dibuat mendongak, dan menatap matanya. Rasanya ... aku seperti sudah dekat dengannya. Tetapi, kapan aku bisa dekat? Bukankah baru beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya?
"Karena aku tak bisa-" Aku baru saja berbicara, tapi ia sudah memotongnya terlebih dahulu, membuatku kesal dan ingin menutup mulutnya menggunakan lem.
"Ah, aku tahu! Sepertinya kamu meminta maaf, karena sudah lama tak bertemu denganku, 'kan?"
Aku mengerutkan kening, lagi-lagi dibuat pusing. Bukankah sekarang aku tengah bertemu dengannya? Jika bukan, lalu siapa yang ada di hadapanku ini?
"Apa maksudmu, Desya?" Ia pergi dari hadapanku tanpa sepatah kata, tanpa pamit, dan seolah tak mendengar suaraku. Ia ... aneh.
☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆
Entah sudah berapa lama aku duduk dan merenung di lantai dance. Memikirkan kejadian beberapa saat lalu membuat otakku ingin menyerah, dan pergi dari tempatnya.
"Zelin!" Aku menoleh ke arah pintu ruang dance, di sana terlihat Geya sedang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangannya. Lama sekali rasanya tidak bertemu dengannya.
Ia berlari ke arahku dengan senyuman yang tak pernah pudar di wajahnya. Aku memicingkan mata, mengingat-ingat sudah berapa lama ia tidak datang ke sekolah. Namun, itu semua membuatku cukup pusing, akhirnya aku tak mengacuhkannya.
"Sudah lama tidak bertemu." Ia memelukku dari samping, sedangkan aku hanya diam saja-tak tertarik dengan apa yang ia lakukan.
Entah ada apa, tiba-tiba Desya juga ikut datang ke ruang dance. Apa dia sengaja mengikuti Geya? Atau ... dia hanya ingin menemuiku? Yang jelas, sekarang ia sedang berada di pintu ruang dance. Dengan berkacak pinggang, seolah-olah ia muak melihat wajahku, atau wajah Geya? Entahlah.
"Sudah berapa lama kamu tidak hadir di dunia ini?" Desya bertanya, dan mulai mendekati Geya. Ia menarik tangan Geya, melepaskan pelukannya padaku. Sebenarnya ada apa dengan mereka?
"Kenapa memangnya?" Desya menyeringai saat mendengar suara Geya. Ia terlihat tidak suka dengan Geya, tapi mengapa? Aku pusing, sangat pusing.
"Bagaimana kamu bisa ke sini? Bukankah bola kristal itu-" Setelahnya aku tak mendengar suara Desya lagi, karena seseorang memotong ucapannya.
"Jangan bahas ini!" Aku menoleh ke arahnya, dan ia terlihat marah. Tanganku gemetaran, entah kenapa. Lalu ia menoleh ke arahku dengan ekspresi sedih, dan berkata, "Maafkan aku, Putri."
Setelah itu, perlahan semuanya terasa menghitam, gelap. Tubuhku bagai ditusuk ribuan jarum, oksigen terasa semakin menipis. "H-haechan ...." Lalu semuanya benar-benar hitam, gelap, dan aku ... tak merasakan apapun lagi. Seolah aku telah tiada dari dunia ini.
☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆
Hai //lambai tangan.
Hehe, maaf baru update(人 •͈ᴗ•͈)
Jangan lupa vote (untuk memberi dukungan), jika suka. Juga jangan lupa komen, kalau ada kesalahan berupa salah penempatan tanda baca, typo, dan lain sebagainya.
Salam manis,
Dini jodoh Renjun( ꈍᴗꈍ)
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Dream [SUDAH TERBIT]
FantasySudah terbit di Sinar Pena Amala [Fantasy-Fanfiction] [Sudah tamat] Setelah membaca buku cerita dengan ending yang menggantung, aku dihantui oleh mimpi tentang dunia lain. Aku mengira, ini semua hanya bunga tidurku. Namun, aku salah. Ternyata ini a...