Matahari pagi hari yang tidak begitu panas membuatku asik bermain-main. Mengunjungi taman yang ternyata sudah bersih, tidak ada sedikit pun bercak darah.
Pemandangannya indah kembali, tidak seperti kemarin yang sangat kelam. Bahkan tidak bisa disebut sebagai pemandangan, karena sangat menyeramkan.
Aku tentu saja tidak mau memikirkannya lagi. Hari ini adalah hari yang baru, dan aku akan memulai lembaran baru lagi. Siapa tahu, ke depannya kehidupanku akan baik-baik saja, walau aku tidak yakin.
Tidak ada hidup yang mudah, semuanya pasti selalu diberi cobaan. Tidak ada pula tentang hidup yang selalu saja dipenuhi cobaan, karena dalam semua masalah pasti ada jalan keluar.
Aku merasa tidak pernah aneh dengan apa pun, karena di dunia ini semuanya akan menjadi mungkin. Apa yang tidak terjadi di bumi, akan terjadi di sini. Aku bahkan tidak tahu kalau ini di planet mana, daerah bagian mana, dan dekat apa dunia ini di buat. Yang jelas, aku hanya bisa mengelilingi sekitaran istana.
Burung-burung berkicau, membuatku ikut bersenandung senang. Hari ini, Desya mengajakku ke pedesaan, dekat dengan istana. Katanya, tidak apa-apa jika hanya berjalan-jalan di sekitar wilayah kerajaan.
Suara langkah kaki menginjak rerumputan hijau, membuatku melirik sebentar ke arahnya. Desya sudah ada di dekatku dalam sekejap, padahal tadi katanya ia ada urusan, dan memakan waktu yang cukup lama.
Tapi tidak apa, aku sangat senang jika ia cepat. Aku akan mengunjungi pedesaan, dan melihat ada banyak jenis hewan apa saja di sini, juga pepohonan yang aneh-aneh, aku akan mengetahuinya nanti.
Aku berdiri dari dudukku, dan menatap senang ke arah Desya yang juga tengah tersenyum. Sungguh, aku sangat tidak sabar untuk pergi melihatnya. Melihat semua yang belum aku ketahui.
"Ayo!" ajakku, dan menarik lengannya.
Desya tetap bertahan di tempatnya, ia menggelengkan kepala pelan. "Berjanjilah agar selalu ada di dekatku." Aku mengangguk, tanpa banyak bicara, aku sudah berjanji padanya.
☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆
Baru setengah jalan keluar dari kerajaan, aku sudah disuguhi banyak pemandangan. Mulai dari langit yang biru cerah, awan putih, matahari terik, pepohonan berwarna-warni yang rindang, dan banyak hewan kecil—seperti kelinci, kucing, burung, dan lainnya.
Aku bahkan berdecak kagum terus-menerus karena tidak pernah mengalami perasaan sesenang ini. Tapi, ada satu yang kurang menurutkan.
"Kemana para penduduk?" Desya menoleh, lalu tertawa karena ucapanku. Sedangkan aku berpikir, apa ada yang salah dengan pertanyaanku?
"Biasanya, para penduduk pergi ke kebun dekat sungai, untuk menanam atau bahkan memanen makanan di sana. Mereka pergi ke kebun saat pagi-pagi sekali, terkadang jika dibandingkan denganmu, mereka sudah terlebih dulu sampai di kebun, sedangkan kamu belum bangun."
Aku merasa sedikit kesal karena ia membandingkanku dengan penduduk sana. Walau benar, karena aku sering bangun terlambat, tapi harusnya dia tidak begitu.
Aku mengalihkan pandangan darinya, karena cukup merasa kesal. Walau rasa kesal itu perlahan menghilang karena melihat keindahan alam. Sungguh, rasanya di bumi pun jarang yang seindah ini.
Aku paling suka dengan pohon-pohon yang berwarna merah muda, sangat lucu menurutku. Mereka bahkan terlihat sangat cerah dibandingkan yang lain.
"Itu bunga apa?" Aku menunjuk ke salah satu bunga berwarna hitam, dan seperti memiliki kumis, mengganggu pemandangan dari indahnya warna-warni di sini, menurutku. Jika saja itu adalah tanah, mungkin aku akan memakluminya, tapi ini adalah bunga.
"Entahlah, aku tidak pernah menghafalkan nama-nama bunga dan pepohonan di sini." Aku memukul kepalanya. Padahal ia sudah lama di sini, tapi tidak hafal.
"Jangan salahkan aku! Karena aku juga jarang keluar dari kerajaan." Desya membalas perbuatanku, dengan memukul kepalaku pelan.
Dasar, seenaknya saja. Dia memang lahir terlebih dahulu dariku, tapi tetap saja dia lebih menyebalkan dariku. Eh, tapi aku tidak menyebalkan, sih.
Aku terus melihat ke sekeliling, rasanya tak pernah bosan. "Aku ingin ke kebun." Desya melirik ke arahku.
"Kamu hanya ingin mencari perhatian dari mereka, 'kan? Lalu mendapat pujian, wah pasti senang." Aku mencubit lengannya, dan ia teriak kesakitan.
"Aku hanya ingin melihat sungainya saja!" Ia mengangguk menyetujui, membuatku merasa sangat senang. Sudah lama rasanya tidak melihat sungai.
"Butuh satu jam untuk sampai ke sana, ayo!" Aku membuka lebar mulutku, sangat terkejut dengan apa yang dikatakannya. Satu jam bisa dipakai untuk tidur, dan merebahkan diri.
Desya tertawa, dan aku semakin aneh padanya. Rasanya dia tertawa terus sepanjang hari ini, aku jadi takut.
"Aku hanya bercanda." Detik itu juga aku merasa sangat kesal dengannya, hingga ingin mencekik lehernya dan menggantungnya di tempat tertinggi. "Aku bisa terbang." Aku meliriknya, ternyata ia membaca pikiranku.
"Tidak sopan." Ia kembali tertawa, sungguh, rasanya aku ingin menghilangkan suaranya agar ia tidak bisa lagi menertawakanku.
“Maaf, ya, Putri Zeline Zakeisha.” Ia meledekku, dan saat itu juga aku sudah menyiapkan diri untuk memenggal kepalanya.
Baru beberapa menit berjalan, dipenuhi dengan ocehan Desya yang membuatku kesal, akhirnya aku sudah sampai di sungai. Banyak penduduk yang sedang duduk-duduk saja sambil memandangi indahnya air sungai yang berwarna biru.
Aku berdecak kagum, sungguh rasanya rasa kesalku hilang begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Dream [SUDAH TERBIT]
Viễn tưởngSudah terbit di Sinar Pena Amala [Fantasy-Fanfiction] [Sudah tamat] Setelah membaca buku cerita dengan ending yang menggantung, aku dihantui oleh mimpi tentang dunia lain. Aku mengira, ini semua hanya bunga tidurku. Namun, aku salah. Ternyata ini a...