[14] Berlatih?

44 26 6
                                    

Haechan datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu—sudah biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haechan datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu—sudah biasa. Ia mendekatiku dan Desya yang sedang menatap ke arah Haechan yang menyebalkan.

Haechan duduk di kasurku tanpa permisi, dan dia mulai merebahkan dirinya. "Putri, ada sesuatu yang ingin aku beritahu." Aku hanya menatapnya malas, dan mengangguk tak ikhlas.

Jujur saja, Haechan seperti tidak pernah diajari sopan santun, dan seenaknya. Tapi dia selalu menjadi sumber tawa untuk semua penduduk istana.

Ia kembali duduk, dan mendekati wajahnya ke wajahku, membuatku sedikit memundurkan wajahku. Sungguh, benar-benar tidak tahu malu. Sebenarnya mau apa dia?

"Maafkan aku dulu." Aku mengerjapkan mata, ia tiba-tiba saja mengucapkan itu, membuatku heran. Desya memukul wajahnya dan menjauhkannya dariku, sungguh baik sekali Desya ini.

"Kenapa harus sedekat itu, sih? Bisa saja Zelin tidak mau memaafkanmu karena perilakumu yang membuat siapapun kesal." Aku mengangguk tanda setuju.

"Maaf," katanya, dan aku hanya menganggukkan kepala lagi. Benar-benar rasanya seperti aku adalah seseorang yang tidak bisa bicara, hanya menganggukkan kepala saja.

"Putri, ingatkan saat aku pertama kali bertemu denganmu? Aku bilang, jika Putri mirip dengan Putri Kerajaan." Ia tertawa, sedangkan aku terus mengingat-ingat. "Itu ... saat kita tak sengaja bertabrakan."

"Wah, jadi kalian tidak sengaja bertabrakan?" Desya bertanya dengan antusias, lalu bertepuk tangan dengan keras. "Kisah cinta yang unik, seperti novel yang pernah dibaca olehku," katanya.

Haechan memukul kepalanya pelan. "Dari mana sumber cintanya?" Haechan berdecih. "Aku tidak tahu kalau kamu seperti ini, dasar, Anak Buku!"

Aku tertawa melihat keduanya saling beradu argumen, menurutku ini sangat seru. Seharusnya aku menyiapkan makanan ringan jika tahu mereka akan bertengkar seperti ini.

"Sudahlah, jangan hiraukan dia," kata Haechan sambil menatap Desya sinis. Aku susah payah untuk tidak tertawa. Sungguh, rasanya sangat sulit.

Haechan menghadap ke arahku. "Sebenarnya aku juga tidak tahu kalau itu Putri saat pertama kali. Karena aku hanya ingin melihat keadaan Putri dalam mimpimu, tapi tiba-tiba saja aku terseret ke sana. Bodoh, ya, padahal aku yang membuat alat itu," ia menunjuk sebuah benda seperti kristal milik Geya waktu itu, "tapi aku juga yang tidak tahu apa-apa."

Aku tersenyum, menghargai semua usahanya. "Kamu yang menciptakan, bisa saja kamu yang tidak tahu apa-apa, tapi itu wajar. Karena setiap orang akan mempelajarinya terlebih dahulu setelah membuat, tidak akan langsung bisa, kok."

Haechan memegangi dadanya, ekspresinya membuatku ingin tertawa, karena ia membuat wajah terharu, dan tentu saja itu hanya ekspresi buatannya. "Aku tersentuh, Putri." Lalu ia pura-pura menyeka air matanya di pelupuk matanya.

Desya menutupi wajah Haechan dengan tangannya, dan memintaku untuk melirik ke arahnya. "Aku seperti pernah dengar kata-kata itu, dengan inti yang berbeda. Tapi ... kapan, ya?"

Aku menutupi wajahku sendiri dengan bantal yang ada di dekatku. Sungguh aku sangat malu. Kata-kata penyemangatku hanya sebatas rentetan kalimat itu.

Haechan merebut bantal dari wajahku. "Dengar, Putri, ini penting." Aku menatapnya dengan rasa penasaran yang tinggi. "Saat alat itu jadi, ternyata Geya mengambilnya, dan terpaksa aku harus membuatnya lagi. Untung saja cepat, dan sama."

Pantas saja bentuknya sama.

Kenapa, sih, harus Geya yang jahat? Dia periang saat di bumi, tapi dia sungguh jahat jika di sini. Aku benar-benar membenci dirinya. Walaupun dia adalah saudaraku, tapi tetap saja aku tidak akan menganggapnya sebagai saudara.

"Kupikir, Putri tidak dekat dengan Geya, ternyata dekat. Bahkan, Putri selalu bersamanya setiap—"

Aku memotong ucapannya, "Dia yang mendekatiku, padahal aku tidak suka padanya, bahkan risih dengannya."

"Terserah saja. Tapi aku benar-benar bersyukur karena Desya sudah berhasil menghancurkan alat itu." Haechan mengelus kepala Desya dengan sembarang, ia mengacak-acak rambut Desya hingga si pemilik marah.

"Diam!" Desya menyingkirkan tangan besar Haechan, dan menjauhinya. "Soalnya aku yang terkena bully," kata Desya sambil menatap malas ke arah Haechan.

"Biarkan saja dia." Haechan mengabaikan keberadaan Desya, padahal Desya sedang berisik. "Sebenarnya aku tidak tahu kalau ternyata Putri bisa berkunjung ke sini. Bahkan teman-temanku sempat emosi karenanya, mereka tidak tahu kalau Putri ini asli."

"Aku sampai agak takut dengan Jeno," bisikku pada Haechan.

Desya mungkin mendengarnya, karena setelah itu ia tertawa sangat kencang di antaranya dan Haechan. Aku heran dengan dua anak ini, sebenarnya mereka kenapa, sih?

Haechan memberhentikan tawanya. "Sepertinya Putri bisa berkunjung ke sini walau hanya sebentar, karena pertamanya aku gagal membuat alat itu, tapi sudah mencobanya pada Putri."

"Sampai Putri hampir saja kejang-kejang, loh." Desya memotong, dengan nada bahasa yang dibuat-buat, seolah sedang mengompori.

"Bohong!" Haechan menutup mulut Desya menggunakan tangan besarnya. Ia seperti puas karena Desya tidak mengeluarkan suara yang sangat amat mengganggu telinga.

"Sepertinya juga karena buku yang dibuat oleh Desya," kataku, karena jujur saja aku selalu memikirkan buku cerita itu. Ya ... itu bisa saja menjadi mimpi, 'kan?

"Benar juga, ya." Desya berujar dan menganggukkan kepala, begitu juga dengan Haechan. Tangan Haechan ternyata sudah tidak menutupi mulut Desya lagi, pantas saja Desya bisa berbicara.

Keheningan mendominasi di antara kami selama beberapa detik, sebelum jentikan jari, dan raut wajah bahagia milik Haechan terpancar sempurna. "Sepertinya Putri harus berlatih menguasai kekuatan."

"Bodoh!" Desya memukul kepala Haechan tanpa belas kasihan. "Apa gunanya kamu dan keenam Pangeran lainnya jika Putri bisa menguasai kekuatannya?"

"Hanya untuk berjaga-jaga." 

Sedangkan aku hanya bisa menatap Haechan takut-takut, karena tidak mau berlatih. Aku hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang, bukan untuk repot-repot melelahkan diri.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Real Dream [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang