Sebenarnya aku ingin sekali duduk di taman itu sampai malam hari, menikmati angin yang berembus, menerpa wajahku. Tapi, seluruh penduduk kerajaan melarangnya. Mereka terlihat ketakutan saat hari mulai menggelap, dan aku masih duduk di taman.
Bahkan, Desya menarik tanganku hingga rasanya sakit sekali. Sebenarnya kenapa, sih? Kenapa mereka terlalu takut jika aku berlama-lama berada di taman? Apa ada masalah?
Aku menggeser posisiku, yang semula tiduran di atas kasur menatap langit-langit kamar, kini menjadi duduk menyandar pada kepala ranjang. Mengingat-ingat tentang buku yang kubaca, kenapa bisa aku tidak boleh berlama-lama di taman.
Baru kusadari, jika aku disakiti—dibuat pingsan—tepat di taman itu. Ya ... sekiranya saat ini aku tidak harus berpikir lama. Karena apa yang dikatakan Chenle benar. Apa yang membuatnya menjadi rumit adalah diri kita sendiri.
Mulai saat ini, sepertinya aku akan terbiasa, mulai mengusir kebiasaan burukku, dan mengumpulkan sedikit demi sedikit ingatanku yang menghilang entah kemana.
Suara pintu terbuka membuatku menoleh, dan mendapati ibunda dengan senyuman manisnya. Ia menghampiriku, duduk di pinggir kasur, mengusap kepalaku dengan lembut. "Kenapa kamu belum tidur, Sayang?"
"Belum mengantuk, Ibunda."
Ibunda terlihat menggelengkan kepalanya, mungkin berpikir kalau aku ini ada-ada saja. Tapi, apa yang aneh? Bukankah memang setiap manusia juga pernah merasakan belum mengantuk, walau sampai pada pagi hari pun?
"Sebenarnya Ibunda sedikit tidak ingin dipanggil seperti itu. Dari dulu, kamu diajarkan untuk memanggil Ibunda dengan sebutan mama. Tapi kamu tetaplah kamu, walau diajari berkali-kali pun, tetap memanggil Ibunda." Ia tertawa puas melihatku kebingungan.
"Mungkin beberapa saat lalu, kamu mendengar jika ada yang memanggilmu dengan nama Zeze, 'kan?" Aku mengingat-ingat, lalu mengangguk. Karena itu saat aku tepat berada di bus, bersama Desya. "Sebenarnya Ibunda juga tidak mau memanggilmu itu, tapi Ibunda kembali berpikir, bisa saja kamu akan langsung bangun saat mendengar namamu disebut seperti itu. Tapi ternyata sia-sia."
Aku memeluknya, menyandarkan kepalaku di bahunya. "Tapi tidak ada yang sia-sia, Ibunda. Sekarang aku sudah berada di sini, di pelukan Ibunda." Nyaman sekali rasanya, hingga aku tidak mau melepaskannya.
"Benar, Zeze." Aku terkikik geli mendengarnya, merasa aneh dengan sebutan itu. Tapi sepertinya aku akan membiasakannya, karena semua bisa jika terbiasa. Ya, mungkin aku juga akan bisa mengingat kembali ingatanku yang hilang.
☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆
Pagi harinya, aku langsung membereskan kasur dan terburu-buru keluar kamar. Ketujuh kilat sedang menungguku—sepertinya. Karena aku mendengar jika mereka memanggilku lewat telepati.
Aku merasa aneh saat pertama kali mendengarnya, tapi Haechan menjelaskan semuanya membuatku mengerti. Rasanya tak sabar untuk mengenal mereka semua, seperti mengulang semuanya dari awal—karena aku hilang ingatan.
"Hai, Putri." Aku baru datang dengan napas yang tersengal-sengal, mereka langsung menyapaku. Aku hanya bisa tersenyum untuk membalas sapaan mereka.
Haechan berdiri dari duduknya, dan mengajakku untuk duduk di tempatnya tadi. Mengatur napas, yang sepertinya tak beraturan karena sehabis berlari, juga sepertinya karena terkejut melihat ketampanan mereka semua.
"Bisa ... kita mulai?" Seseorang di sebelah Renjun menginterupsi, membuatku mengalihkan atensi penuh padanya. Sebenarnya ada apa?
"Kami akan memperkenalkan diri," ujar Renjun, dan diangguki mereka semua. Aku tersenyum senang, tidak merasa sia-sia karena sudah berlari demi datang tepat waktu.
Seseorang berdiri, dia seperti kilat yang tertawa sampai hampir hilang keseimbangan waktu itu. "Aku Mark." Ia tersenyum padaku, dan aku membalasnya. Ia kembali duduk di tempatnya.
Seseorang lagi berdiri, karena dipaksa oleh Chenle. Kilat itu jauh lebih tinggi dari yang lainnya ia tersenyum padaku malu-malu, imut sekali. "Namaku, Jisung." Aku tersenyum padanya, sama seperti kepada Mark. Jisung juga kembali duduk di tempatnya.
Tiba-tiba dua kilat lagi berdiri, membuatku kebingungan. Mereka terlihat sangat dekat, tidak seperti yang lainnya. "Aku Jeno." Ia memiliki mata yang terus tersenyum, aku jadi menyukainya—sebagai teman. Baru kuingat, jika aku pernah takut padanya karena ia terlihat sedikit menyeramkan.
"Aku Jaemin." Berbeda dari yang lain, Jaemin ini terus saja menunjukkan gigi putih bersihnya. Aku jadi tertawa pelan saat mengingat apakah giginya kering terkena angin atau tidak.
Semuanya sudah kuingat, hanya saja aku perlu beradaptasi di sini, bersama mereka. Sepertinya bukan suatu hal yang sulit, karena mereka sudah mengenalku lebih dari sekedar kenal.
Ya, sepertinya aku juga harus seperti mereka. Mengenal satu sama lain lebih dekat.
☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆
Sore ini, lagi-lagi aku duduk sendirian di taman menikmati sejuknya udara. Sepertinya akan semakin sejuk jika sampai malam, karena tidak ada apapun yang terjadi, semua baik-baik saja.
Aku tersenyum sendiri saat mengingat wajah tampan ketujuh kilat, mereka selalu membuatku tersenyum kala mengingat jika mereka memedulikanku. "Putri, cepat masuk!" Kualihkan pandangan, menatap Chenle yang datang mendekat.
"Tidak mau!" Aku melepas genggaman tangannya saat ia memaksaku untuk masuk ke dalam istana. Aku merengek padanya, meminta untuk ditemani saja daripada harus masuk ke dalam.
Untungnya Chenle mau menuruti, ia duduk di sebelahku dengan mata yang terus melihat ke sekeliling untuk menjagaku. Rasanya seperti tengah dijaga oleh seseorang yang spesial, seperti pacar misalnya.
Aku terkikik geli, sedangkan Chenle menatapku heran. "Tidak perlu sampai begitu, tenang saja. Selama kamu ada di sisiku, sepertinya aku akan aman."
Chenle menggelengkan kepalanya, sepertinya ia tidak setuju dengan perkataanku. "Tidak, Putri. Aku bisa saja lalai, dan tidak bisa menjagamu dengan baik." Ia menundukkan kepalanya, mungkin merasa bersalah. Tapi ... karena apa?
Aku mengusap kepalanya dengan lembut, membuatnya mendongak menatapku. "Setidaknya saat ini aku benar-benar baik-baik saja di dekatmu."
Tiba-tiba angin berembus sangat kencang, dan muncul lingkaran berwarna hitam pekat. Aku terkejut bukan main, Chenle bersiap dengan posisi melawan, takut-takut jika itu adalah musuh.
Angin kembali normal, lingkaran warna hitam itu sudah menghilang entah kemana, digantikan dengan tiga orang perempuan yang membuatku terkejut bukan main.
Tak menyangka, ternyata orang-orang yang berada di dekatku adalah orang yang telah menyakitiku sendiri. Bahkan aku merasa tidak percaya walau sebentar, tapi kembali tersadar kalau ini kenyataan.
"K-kalian?"
Mulai saat ini, aku merasa benci dan kecewa pada mereka!
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Dream [SUDAH TERBIT]
FantasySudah terbit di Sinar Pena Amala [Fantasy-Fanfiction] [Sudah tamat] Setelah membaca buku cerita dengan ending yang menggantung, aku dihantui oleh mimpi tentang dunia lain. Aku mengira, ini semua hanya bunga tidurku. Namun, aku salah. Ternyata ini a...