[4] Kemarahan Mereka

81 29 2
                                    

Aku merebahkan diri di kasur kamarku, memejamkan mata sebentar, lalu membukanya kembali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku merebahkan diri di kasur kamarku, memejamkan mata sebentar, lalu membukanya kembali. Menarik napas perlahan, membuangnya pun perlahan.

Capek, itu yang aku rasakan. Mengejar mereka bertujuh bukanlah hal yang mudah, ataupun menyenangkan. Mereka semua, berlari bagai kilat dalam mimpiku. Begitu cepat, dan aku ... kehilangan jejak.

Seakan baru mengingat suatu hal, aku terduduk dengan cepat. Ibu ..., ia tak pulang sejak tadi pagi. Ada urusan apa ia, sampai tak pulang, bahkan sekarang hari pun sudah hampir larut malam.

Aku menggelengkan kepala saat terlintas pikiran buruk tentang ibu. Tidak, semua itu takkan terulang kembali. Ibu takkan menghilang begitu saja seperti ayah. Ibu pasti belum pulang hanya karena ada pekerjaan yang harus ia kerjakan, atau sedang mengobrol bersama dengan teman-temannya.

Aku cepat-cepat berdiri, dan berlari menuju kamar ibu. Saat di depan pintu kamar ibu, aku berjalan dengan perlahan. Takut-takut ibu sudah pulang, tapi tak aku ketahui.

Tepat saat pintu terbuka dengan lebar, aku dapat melihat keadaan kamar ibu. Berantakan seperti tak pernah dibereskan selama beberapa tahun, gelap seakan-akan tidak ada lampu di kamar ini, dan juga ... begitu kosong, seakan ibu tak pernah ada di sini.

Menyalakan lampu kamarnya, merebahkan diri di kasur, aku mulai memejamkan mata, dan menghirup harum ibu yang ternyata masih menempel di sini walau ia sedang tidak berada di sini.

Entah mengapa ... aku malah merindukan ayah, alih-alih merindukan ibu. Bayangannya mulai memenuhi pikiranku, semenjak kehilangannya, aku merasa kalau duniaku begitu hampa.

"Eli, seandainya ayah sudah tiada, apa kamu masih mau mengingat ayah?" Ayah bertanya tanpa melibatkan kontak mata denganku, ia menatap langit dengan senyuman yang terus mengembang sedari tadi.

"Tentu, Ayah. Aku tak akan pernah melupakan ayah, karena ayah bagaikan barang kesayanganku yang begitu berharga. Sekalipun barang itu menghilang, aku akan tetap mengingatnya." Aku menjawab, sambil ikut menatap langit yang ditaburi bintang-bintang kecil dan bulan yang agak besar.

"Tolong berjanjilah untuk itu." Sekarang, ayah menatapku penuh harap, dan aku hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Demi apapun, aku tak menyangka itu adalah malam terakhirku bersama ayah melihat langit yang indah di tengah Kota Jakarta ini.

Aku mengusap air mata yang sudah membasahi pipi, lalu membuka mata. Saat menoleh ke sisi kananku, ternyata ibu sudah berada di sana sambil memejamkan mata, entah itu tertidur atau hanya memejamkan mata, mengikutiku.

"Ibu ... kapan pulang?" tanyaku, dengan suara yang pelan. Takut-takut ibu tak mendengar, aku hendak mengulang pertanyaan dengan nada yang lebih kencang.

Baru saja aku membuka mulut, ibu sudah menjawab, "Sejak kamu merebahkan diri di sini." Pipiku terasa memanas, karena malu.

"Maaf, Ibu," cicitku. Ibu menganggukkan kepalanya, sambil tetap memejamkan mata. Karena takut mengganggunya beristirahat, aku berniat pergi ke kamarku.

"Tidur di sini saja, bersama ibu." Kulihat ibu sudah membuka matanya, dan berharap padaku. Aku jadi tak enak untuk kembali. Akhirnya, aku memilih diam dan menemani ibu tidur.

☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆

Keadaan kelas sangat gaduh, membuatku tak nyaman berlama-lama duduk di kelas. Guru yang seharusnya mengajar pada jam ini, dikabarkan tengah sakit dan tidak bisa datang untuk mengajar.

Menelungkupkan wajah di atas meja, sudah kulakukan sejak tadi. Hanya untuk menenangkan diri di tengah kebisingan. Tetapi, sia-sia saja, karena aku tetap tak bisa tenang.

"Sudah kuduga, kamu akan datang ke sini." Seseorang membuatku membuka mata, ternyata ... dunia mimpiku. Aku menoleh ke sumber suara, ketujuh orang sedang berdiri di hadapanku.

"Siapa kamu sebenarnya? Kenapa bisa kemari?" Aku mengerutkan kening, mereka tiba-tiba menanyaiku seperti itu. Aku merasa ... ini semua aneh. Sangat aneh.

Salah satunya, menenangkan mereka berenam yang kelihatan sangat emosi saat kedatanganku. Saat melihat mereka semua sedikit tenang, aku berniat untuk menjelaskan.

"Aku ... tidak tahu apapun. Aku bisa ke sini, semenjak aku membaca buku ...." Aku mendadak berhenti berbicara. Memikirkan tentang buku itu ... ah, tidak! Buku itu seperti novel fiksi yang memberi ending menggantung, tapi ... buku itu bisa disebut sebagai dongeng penghantar tidur untuk anak-anak.

"Buku apa maksudmu?!" tanya orang yang pernah menabrakku di mimpi waktu itu, ia terlihat dua kali lipat lebih marah.

"Buku ...."

"Zeline Zakeisha!"

Aku mengerjapkan mata terkejut, ternyata waktu berganti begitu cepat. Sekarang, guru lain tengah mengajar di kelasku. Aku hanya bisa menundukkan kepala dan terus bergumam, "Sial!"

"Sudah dua kali kamu tertidur di jam pelajaran saya. Sebenarnya, kamu mau belajar dengan saya atau tidak, sih?!" Aku tetap diam, tak berani berkata-kata. Sekarang, seisi kelas memperhatikanku, semakin membuatku takut.

Lalu, kurasakan langkah kaki mulai mendekati mejaku. Hanya bisa memejamkan mata, aku terus berpikir positif, kalau itu bukanlah guruku melainkan temanku.

Namun, pikiranku menghilang begitu saja kala tahu kenyataannya. Guru itu mengetuk-ngetuk mejaku dengan perlahan, seolah ia akan membuat irama musik.

Aku mendongak, melihatnya dengan harap-harap cemas. Ia tersenyum mengerikan, membuat rasa takutku semakin menjadi.

"Kamu, saya hukum. Cepat keluar dari kelas ini!"

☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆

Hai //lambai tangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hai //lambai tangan.

Aku buat sedikit flashback di sini. Adakah yang sadar?<( ̄︶ ̄)>

Hayo main tebak-tebakan, siapakah yang menabrak Zelin saat ia berada di mimpinya? Lalu, siapakah yang ditabrak Zelin saat di sekolahnya?
(≧▽≦)

Penasaran?

Santai aja, masih banyak mimpi yang harus kita lewati(๑¯◡¯๑)

So, wait for the next part( ՞ਊ ՞)

Jangan lupa vote (untuk memberi dukungan), jika suka. Juga jangan lupa komen, kalau ada kesalahan berupa salah penempatan tanda baca, typo, dan lain sebagainya.

Share juga ke teman-teman Nctzen kalian, ya!
Jangan lupa juga untuk memasukkan cerita ini ke perpustakaan kalian, atau reading list (untuk ini, aku sangat berterima kasih) kalian, ya♡

Terima kasih♡

See you in the next part♡

Salam manis,

Dini jodoh Renjun( ꈍᴗꈍ)

Real Dream [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang