[6] Bersahabat Sejak Kecil?

83 28 6
                                    

Aku menangis dalam diam di kamar, dengan bantal yang menutupi seluruh wajahku untuk meredam suara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menangis dalam diam di kamar, dengan bantal yang menutupi seluruh wajahku untuk meredam suara. Otakku terus memberiku banyak pertanyaan, tidak membuatku pusing, tapi cukup membuat dadaku sesak.

Sejak bertemu dengan tanteku tadi, aku langsung berlari masuk ke dalam kamar. Seakan aku sangat ketakutan saat melihatnya, lagi. Padahal, semenjak kematian ayah, ia juga dikabarkan telah tiada. Namun, kenapa ia bisa kembali lagi sekarang?

Mungkin dulu aku masih berumur sembilan tahun, tapi sekarang aku sudah berumur empat belas. Mungkin dulu aku masih lugu, tapi sekarang aku sudah berpikir dewasa, dan logis.

Rasanya sangat menyakitkan. Jika tante bisa kembali, bukankah seharusnya ayah juga bisa kembali?

☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆

Pagi harinya, aku pergi sekolah pagi-pagi sekali, tanpa pamit pada ibuku. Sekarang, aku sedikit tidak percaya dengan ibu karena mimpiku saat itu. Memang benar, terasa aneh jika aku tidak memiliki orangtua.

Aku hidup dengan kerumitan yang terus mengisi hari-harinya. Aku kuat, walau tak bisa memecahkan semua teka-teki hidupku, atau lebih tepatnya ... belum.

Menunggu bus di halte, dengan satu siswi lainnya, yang aku yakini ia juga satu sekolah denganku. Namun, ia tak memperlihatkan sama sekali wajahnya. Ia ... menutupi wajahnya menggunakan topi dengan lambang sekolahku, yang berarti topi itu sering dipakai untuk mengikuti upacara bendera.

Ia baru mendongakkan kepalanya saat bus datang, dan aku sedikit melihat ke arah wajahnya, ia terlihat seperti gadis yang dibully oleh Geya. Sesaat aku mengingat Geya, kemana dia? Belakangan ini tak pernah terlihat sedikit pun.

Bunyi klakson bus menyadarkanku, dengan segera aku berlari masuk ke dalam bus. Keadaan penuh, sesak, berdesakan dengan siswa-siswi lain dari sekolah yang berbeda-beda.

Aku menundukkan kepala, memperhatikan sepatuku setiap inci. Baru kusadari, tali sepatuku tidak terikat. Aku berjongkok hendak mengikatnya, tapi sebuah suara membuatku terhenti sejenak.

"Cepat bangun ya, Zeze. Mama selalu menunggumu di sini."

Kepalaku menjadi terasa berat, seakan di sekelilingku ini berputar. Bus berhenti, dan aku kehilangan keseimbangan. Aku ... lemas, bahkan untuk bangun pun sedikit sulit.

Penumpang bus langsung melirik ke arahku, tidak ada satu pun yang membantuku. Kecuali satu orang, ia adalah gadis yang dibully Geya saat itu. Senyumannya sangat tulus, tangannya membantuku untuk bangun.

"Hati-hati," katanya, aku hanya bisa menganggukkan kepala, dan melangkah turun dari bus secara perlahan. Tak kusangka, ia menggandeng tanganku.

Turun dari bus dengan dipapah oleh si gadis itu, aku merasa tak enak karena merepotkannya. Sampai ke lantai dua, tepat di pintu masuk kelasku yaitu kelas 8-A, ia melepaskan genggamannya padaku.

Real Dream [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang