[Epilog]

91 26 10
                                    

Dua tahun kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua tahun kemudian.

Pagi hari ini, aku memandangi indahnya bunga yang tertata rapi di setiap sisi taman. Dengan berbagai warna, dan jenis. Aku bangga bisa merawatnya sampai seindah sekarang.

Dua tahun belakangan ini aku sering bermain bersama Desya, dan Geya, juga berkebun dengan mereka. Alhasil, taman yang semulanya hanya ditumbuhi ilalang kecil, dengan rumput.

Kini, sudah indah. Terdapat kebun stroberi di ujung taman, bisa membuatku mencicipi stroberi itu jika sudah tumbuh besar.

Dua tahun telah berlalu, para kilat akan segera kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Kerajaan Dream.

Aku akan merindukan mereka yang selalu saja mengisi hari-hariku, dan aku akan meminta mereka untuk terus berkunjung ke sini jika mereka sudah pulang.

Aku kira, ketujuh kilat adalah kakak-kakakku, dan akan terus tinggal bersamaku. Ternyata mereka hanya menetap di sini karena menungguku untuk bangun dari tidur panjang.

Sebagai teman kecil yang baik, tentu mereka bersedia jika diperintahkan untuk menjagaku, dan bersedia mengerahkan seluruh kemampuannya agar aku tetap selamat.

Tapi, kenapa mereka malah memanggilku dengan sebutan 'Putri'? Sedangkan aku tidak memanggil mereka dengan sebutan 'Pangeran'. Aku benar-benar malu.

Karena akhirnya aku tidak mau lagi merepotkan mereka untuk terus menjagaku, dan tidak juga kembali ke kerajaannya, akhirnya aku menuruti kata Haechan waktu itu, untuk berlatih.

Ya, berlatih melindungi diri, dan menguasai kekuatan. Dari dua tahun yang lalu, perkembangan bela diriku meningkat pesat, dan aku sangat mahir dalam mengendalikan kekuatan tumbuhan. Bahkan ketujuh kilat itu memberiku ucapan selamat silih berganti.

Aku merasa spesial karena itu, dan sekarang waktunya aku hidup mandiri-walau masih tinggal bersama dengan ayahanda dan ibunda. Beberapa menit lagi, pasti ketujuh kilat itu akan datang menemuiku, dan berpamitan.

Sebenarnya aku ingin sekali mereka tidak pulang. Tapi, mengingat jika jauh dari orangtua sendiri, dan tempat kelahiran, akan membuat rindu yang berlebih. Aku tahu mereka rindu pada rumahnya, tapi tidak diucapkan.

Aku berdiri dari dudukku, dan beralih melihat ke kebun stroberi yang baru berbuah sedikit. Ada satu stroberi yang berwarna merah, saat aku hendak mengambilnya, sudah diambil lebih dulu oleh tangan yang tidak memiliki sopan santun.

Haechan, yang sering datang tanpa diundang, dan pergi tanpa diperintah.

Aku melihatnya memakan stroberi itu, padahal belum dicuci. Aku menepuk pelan tangannya. "Tidak sopan sekali, ya!"

"Biarkan saja, Putri. Dia memang seperti itu, bahkan ibu dan ayah kami tidak menganggapnya sebagai anak." Renjun datang dengan omongan yang cukup pedas.

"Tutup mulutmu! Jangan terus-terusan mengeluarkan omong kosong itu!"

"Kata siapa itu omong kosong?" Renjun menatapnya dengan ekspresi menantang, siap untuk bertengkar.

"Ya, terserah kamu, dasar pendek!"

Renjun pasti emosi, karena saat ini ia sedang mengejar Haechan yang lari ketakutan karena sudah mengejeknya.

"Putri, kami akan pergi." Jeno datang, menepuk pundakku. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum.

"Jangan merindukanku, ya!" Jaemin berkata dengan nada meledekku. Aku memukul perutnya dengan keras, hingga ia berteriak kesakitan.

Lalu aku memeluknya, menenggelamkan wajahku di dadanya. "Bagaimana aku bisa tidak rindu pada kalian?"

Setelahnya aku terisak, air mataku tak bisa dibendung lagi. Aku akan kehilangan mereka, dan akan merindukannya.

Tanpa mereka, aku sudah tiada di tangan Geya dan ibunya. Karena mereka juga, aku banyak berubah, menjadi seseorang yang tidak mudah untuk mempersulit sesuatu.

Karena mereka aku sadar, hidup itu bukan tentang ketenangan diri sendiri, tapi juga tentang bagaimana caranya menjadi berisik, dan memiliki banyak kenangan di hari nanti.

Aku semakin mengeratkan pelukannya. "Bolehkah aku meminta, agar kalian semua tidak meninggalkanku?"

"Tidak, Putri. Kami semua harus pulang."

Aku kembali menangis kencang. "Lihatlah, Putri adalah seorang gadis yang mudah menangis." Terdengar suara Haechan yang meledekku.

Aku melepaskan pelukannya, dan menatap Haechan. "Siap-siap nanti kamu muntah darah, ya!"

"Ampun, Nyai." Haechan berlari menjauhiku. Aku akan benar-benar merindukan mereka.

"Kami pergi, Putri. Selamat tinggal!" Mark berucap, dan mengajak keenam kilat untuk pergi. Dengan menggunakan kekuatan kilat mereka-berlari cepat.

Aku jatuh meringkuk di tanah, menangis sejadi-jadinya. Aku harus merelakan mereka, tapi rasanya sangat sulit.

Walau pada akhirnya, tidak semua harapan akan menjadi kenyataan. Karena takdir, hanya memberikan yang terbaik. Jika mereka adalah yang terbaik, maka akan kembali bagaimana pun caranya.

Terima kasih, udah ada yang mau baca cerita ini sampai akhir, dan ada juga yang setia nunggu habis digantungin sebulan (maaf, hehe)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih, udah ada yang mau baca cerita ini sampai akhir, dan ada juga yang setia nunggu habis digantungin sebulan (maaf, hehe). Terima kasih banyak😭❤

Real Dream [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang