[12] Cahayaku?

55 26 3
                                    

Aku membuka mata perlahan, mengumpulkan kesadaran yang kudapat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku membuka mata perlahan, mengumpulkan kesadaran yang kudapat. Aku berada di sebuah ruangan, seperti kamarku.

Kamarku yang berada di istana, dengan cat berwarna biru. Namun, sangat sepi, dan tenang. Tidak biasanya begini, karena setiap ada apapun pasti ketujuh kilat itu ada di dekatku.

Bukankah semalam ada peperangan? Aku baru tersadar akan hal itu, dan buru-buru keluar kamar walau kepalaku rasanya agak pusing sedikit.

Betapa terkejutnya aku, saat melihat ketujuh kilat, bersama dengan Desya duduk di lantai sambil terengah-engah. Mereka terluka cukup parah, walau tidak separah tanteku yang sudah meninggal—mayatnya tepat di dekat ketujuh kilat dan Desya.

Mayat tanteku sangat menakutkan, hingga rasanya aku ingin muntah. Wajah yang terpisah dari lehernya, dan badannya yang terkena banyak sayatan pedang, mengeluarkan darah yang banyak, juga bau busuk mayat.

Jaemin melirikku, dan buru-buru berusaha berdiri—walau kesusahan. Ia cepat-cepat menghampiriku dengan menyeret kaki kirinya yang sedikit lagi akan terputus.

Aku ingin menangis, melihat kekacauan ini. Karena aku merasa kalau ini semua adalah salahku. Semuanya tidak akan terjadi jika dulu aku langsung masuk ke dalam istana, dan juga kemarin, seharusnya aku menuruti kata Chenle untuk masuk ke dalam istana sebelum matahari tenggelam.

Aku benar-benar sumber masalah.

"J-jangan mendekatiku, Jae!" Aku berseru, hampir saja mengeluarkan semua suaraku karena tak tega melihat kaki Jaemin yang satu langkah saja akan terputus.

Jaemin terdiam, menatapku penuh tanya. Walau akhirnya aku yang mendekati dirinya, dan melihat ke arah kakinya. Tanganku tergerak untuk menyentuh luka itu, hanya ingin memeriksa apakah ini sakit atau tidak.

Baru jari telunjukku saja yang menyentuhnya, tapi Jaemin sudah hampir berteriak karena kesakitan. Aku memang benar-benar bodoh. Padahal luka itu pasti menyakitkan.

"Maaf," kataku merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Putri." Aku mengabaikannya dan terus memperhatikan kakinya, baru kusadari kalau luka itu tepat berada di dengkulnya, pantas saja seperti akan terputus.

Aku memejamkan mata, hatiku merasa tersayat karena melihat luka ini. Lagi-lagi aku dilanda rasa bersalah, rasanya ingin memutar kembali waktu agar semuanya tidak pernah terjadi.

Kedua tanganku meraba-raba lukanya, mengabaikan teriakan Jaemin yang kesakitan. Aku terus memejamkan mata dan berharap agar lukanya bisa sembuh secepat kedipan mata.

Sinar merah menembus mataku yang sedang terpejam, hingga akhirnya aku membuka mata dan melihat sesuatu di luar nalar. Aku menggeleng tak percaya, tapi dipaksa percaya karena ini kenyataan dan juga aku sedang berada di dunia yang semuanya bisa saja menjadi nyata.

Dari telapak tanganku keluar cahaya merah pekat bercampur dengan warna hitam. Aku sangat heran, kenapa warna cahayaku sepekat ini? Bahkan, aku merasa kalau aku bukan keturunan dari kerajaan ini.

Namun, luka Jaemin tiba-tiba menghilang seiring dengan cahayaku yang juga menghilang. Aku terduduk di lantai saking terkejutnya, dan merasa ini semua tidak nyata. Bahkan punya pemikiran jika aku memiliki kekuatan saja tidak, tapi tiba-tiba saja kekuatan itu muncul.

Aku melihat ke sekeliling, wajah terkejut ketujuh kilat dan Desya membuatku sedikit ingin menangis. Aku terlalu malu karena ternyata cahayaku gelap, atau bahkan tidak bisa disebut sebagai cahaya.

Sebenarnya aku ini kenapa?

☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆

Ternyata aku memiliki kekuatan healing, dan akhirnya bisa membantu sesuai yang aku inginkan. Keinginanku yang besar, dapat memunculkan kekuatanku yang tersembunyi, katanya.

Ibunda berkata begitu tadi, saat aku selesai menyembuhkan semua orang yang terluka di istana. Tapi reaksi mereka membuatku sedikit malu untuk membantu, karena cahayaku gelap.

Aku merasa benci dengan diri sendiri.

Kali ini aku berada di kamar, dengan selimut menutupi tubuhku. Hari mulai gelap, matahari mulai terganti oleh bulan, dan saat ini juga aku merasa ketakutan.

Takut semuanya akan terulang, takut semuanya kembali berperang. Aku bisa saja membantu mereka jika berperang, tapi aku tidak bisa melihat mereka terluka lagi. Itu terlalu menyakitkan.

Suara pintu terbuka membuat atensiku teralihkan, melihat dengan waspada. Padahal aku seharusnya tidak perlu takut, banyak yang menjagaku di sini. Banyak juga yang peduli padaku di sini, dan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk melindungiku.

"Putri." Aku menatapnya dengan penuh tanya, karena ia seperti tidak ingin masuk ke dalam kamarku.

"Apa?" kataku, ia memejamkan matanya beberapa detik, lalu membukanya kembali. "Masuklah!" Ia segera berlari ke arahku, dengan wajah gembiranya.

Ternyata ia bukan tidak ingin masuk ke dalam kamarku, tapi hanya ingin mendapatkan izin dariku dahulu. Sangat sopan, aku tersenyum.

Ia duduk di kursi sebelah ranjangku, memainkan jemarinya yang lentur, aku jadi kagum. Tidak banyak yang bisa memainkan jari seperti itu, bahkan jariku yang kaku saja merasa ingin lentur seperti itu.

"Eum ...." Ia terlihat ragu-ragu, membuatku penasaran. Sebenarnya ada apa, sampai dia repot-repot ke kamarku? Jika ada sesuatu yang perlu diberitahu, aku akan menunggu sampai ia tidak ragu. "A-ada yang harus aku beritahu kepadamu, Putri."

Aku mengangguk, seolah sudah menduga kalau ia akan memberitahu sesuatu. Terus memperhatikannya, dengan rasa penasaran yang tinggi, aku merasa kesal saat ia masih diam saja sambil memainkan jemarinya. "Ada apa?" tanyaku pada akhirnya, dan ia seperti terkejut.

"Tapi, bukan aku yang akan memberitahukannya." Hampir saja aku memukul kepala ranjang saking kesalnya, tapi aku bisa menjaga emosiku dengan sebuah senyuman.

"Siapa yang akan memberitahukannya?"

Ia berdiri, menatap wajahku dengan lekat, dan tersenyum. "Haechan." Lalu ia pergi begitu saja meninggalkanku.

Kenapa harus Haechan lagi, sih? Tidak bisakah dengan kilat yang lain?
   
Bukan karena apa-apa, hanya saja, ia seperti terlalu tahu dengan semuanya, dan tidak membiarkan kilat lain juga mengetahuinya. Aku merasa bosan juga bertemu dengannya.
   
Aku memukul pelan kepalaku, mungkin jika tanpa Haechan aku tidak akan bisa kembali ke dunia ini lagi, dan mengetahui asal-usul diriku.

     Aku memukul pelan kepalaku, mungkin jika tanpa Haechan aku tidak akan bisa kembali ke dunia ini lagi, dan mengetahui asal-usul diriku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Real Dream [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang