[9] Buku Cerita

71 27 16
                                    

Belum sampai satu menit Renjun menghilang dari penglihatanku, tiba-tiba saja datang Desya dari arah pintu belakang kerajaan—khusus ke taman belakang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Belum sampai satu menit Renjun menghilang dari penglihatanku, tiba-tiba saja datang Desya dari arah pintu belakang kerajaan—khusus ke taman belakang. Aku terkejut, sebab tidak tahu jika ia juga terseret ke sini, ke dunia ini.

Lalu, bagaimana dengan Geya?

Tunggu! Kenapa aku malah memikirkan Geya? Sudah jelas-jelas dia menyebalkan, dan membuatku kesal setiap hari, bukan? Tidak mungkin juga kalau ia sama sepertiku dan Desya yang terseret ke sini.

Desya membuat lamunanku buyar begitu saja, dan membuat seluruh atensiku terfokuskan padanya. Terlihat ia sedang kesusahan menarik sesuatu—atau bahkan seseorang—yang tidak aku ketahui. Dari suaranya yang memang sedikit terdengar sampai telingaku, ia sepertinya tengah mencoba menarik seseorang.

"Cepat! Astaga, sampai kapan kamu akan diam saja, dan membiarkannya mengingat semua dengan sendirinya?"

Aku tidak menyangka jika telingaku bisa mendengar setajam ini. Padahal jarak antara kursi taman—yang aku duduki sekarang—dengan pintu, sangatlah jauh. Lalu telingaku merasakan sakit yang amat, karena mendengar teriakan melengking.

"Aku tidak mau! Kenapa kamu memaksaku?!"

Suara itu lebih mirip seperti teriakan lumba-lumba daripada manusia. Aku yang tidak kuat dengan teriakan-teriakan yang mulai mengisi seluruh pendengaranku, memilih berdiri dan menghampiri untuk melihat apa masalahnya.

Desya tak sengaja menabrakku—karena dia membelakangiku—dan setelahnya terkejut. Ia tersenyum canggung, membuatku juga ikut canggung. Padahal, rasanya aku sudah dekat dengannya.

"Eh, Zelin." Ia menunjukkan sederet gigi putihnya, dan melepaskan tangannya dari seseorang yang ia seret tadi. Setelah kulihat lagi, ternyata seseorang itu adalah salah satu dari ketujuh kilat. Ia sepertinya paling pendiam dari semuanya.

"Maaf mengganggu waktumu," katanya lagi, membuatku benar-benar melihat ke arah Desya. Tersenyum dengan hangat, aku menganggukkan kepala, tanda tidak masalah dengan semuanya.

Salah satu kilat itu memakai pakaian pakaian emas yang sangat mewah. Apa dia pemilik kilat warna emas? Jika benar, aku akan senang karena bisa mengenali mereka lewat pakaiannya.

"Aku Chenle," katanya, membuatku sedikit terkejut. Ia sudah berdiri di hadapanku dan menggenggam tanganku begitu saja. Baru kusadari, ternyata Desya sudah tidak ada di tempatnya tadi.

Secepat itu ia pergi?

Chenle menarikku pelan, dan mengajak untuk duduk lagi di kursi taman. Ia juga sering tersenyum, walau agak canggung. Tapi banyak sekali obrolan di antara kami, apalagi saat itu lucu, maka Chenle akan tertawa kencang.

Kata dia, bagus untuk melatih pendengaranku. Benar, sih, suara tawanya bisa membuatku terbiasa jika mendengar suara yang sangat nyaring.

"Aku mendengar dari Renjun tadi, kalau ia memberimu sebuah pertanyaan dan hadiah karena menjawab benar. Jadi ..., aku juga memiliki satu pertanyaan." Aku berpikir, secepat apa Renjun memberitahunya? Padahal waktunya sangat singkat—antara Renjun pergi dan Chenle datang.

Setelah kuingat kembali, jika mereka bisa berjalan secepat kilat, barulah aku mengangguk percaya, tidak membuatku pusing juga.

Chenle yang melihatku mengangguk, mungkin berpikiran lain. Karena setelah itu ia mulai tersenyum senang, dan memicingkan matanya, seolah menantangku.

"Aku memiliki nama panjang. Coba, Putri, tebak apa nama panjangku itu!"

Aku memukul bahunya dengan pelan, sangat pelan, hingga ia tertawa kencang. Telingaku benar-benar sudah terbiasa sekarang, dan aku merasa seperti kelelawar yang bisa mendengar suara dengan frekuensi tinggi.

"Aku bercanda, Putri." Ia tersenyum, memberhentikan tawanya. "Pertanyaannya sangat gampang. Jika tadi Renjun menanyakan apa warna kilatnya, itu memang benar-benar bodoh. Putri akan mengetahuinya dengan hanya melihat pakaian kami."

Aku yang memang sangat tidak sabar, memukul bahunya lagi. Ia terlalu bertele-tele, dan malah membahas kebodohan Renjun. "Cepat katakan apa pertanyaannya! Tentang Renjun nanti saja, aku akan laporkan kamu ke dia, dan membiarkan dia menghajarmu." Aku terkikik geli, membayangkan jika mereka berdua benar-benar saling hajar.

"Renjun tidak akan menghajarku, dia sangat menyayangiku." Lidahnya terjulur ke depan, membuatku ingin sekali memukulnya dengan keras. "Aku akan membuat pertanyaan tentang sebuah kejujuran. Pertanyaannya, apa Putri Permen sangat merindukan bumi?"

Aku berpikir sejenak. Bukankah ini bumi? Jika bukan, lalu di mana aku? Tapi, jika benar ini bumi, tidak mungkin semuanya berwarna-warni seperti ini, 'kan?

Jika aku merindukan bumi, aku akan meronta-ronta untuk kembali. Tapi, kenapa rasanya ... aku tidak merindukannya sama sekali? Kenapa rasanya aku lebih nyaman di sini? Apa benar, yang dikatakan mereka, jika memang tempat tinggalku di sini?

Sejenak aku merenung. Bodoh memang, sudah jelas semuanya menjelaskan, jika aku memang benar-benar dari sini, bukan bumi.

Tunggu! Apa katanya tadi? Putri Permen? Seperti dalam buku ... yang aku baca. Kenapa begitu sama? Dari ketujuh kilat, lalu aku yang sering datang ke sini. Bukankah sebenarnya itu semua petunjuk?

Aku memang benar-benar bodoh! Malah membuatnya sebagai teka-teki tanpa petunjuk, padahal sudah banyak petunjuk yang aku dapatkan. Dasar otakku! Memang ya, lama sekali untuk memahami.

"Putri?" Aku terkejut, dan menoleh ke arah Chenle yang sedari tadi sepertinya memerhatikanku. "Kalau memang merindukannya, bilang saja. Aku bisa merasakan seseorang itu jujur atau tidak," katanya.

"Tidak. Tidak sama sekali," kataku menjawab pertanyaannya. Memang dirasa benar, aku tidak merindukan bumi.

Chenle tersenyum. "Apa itu mengartikan, jika Putri memang sudah menerima semuanya, termasuk kenyamanan saat berada di sini?"

"Sebenarnya kamu mau menanyaiku berapa pertanyaaan, huh?" tanyaku merasa kesal. Karena memang sebelumnya Chenle bilang, ia hanya memiliki satu pertanyaan.

Dia tertawa pelan, dan setelahnya memejamkan mata. Aku tidak tahu dia sedang apa, yang jelas ia tak membutuhkan waktu belasan atau bahkan puluhan menit untuk membuka matanya kembali. "Putri jujur. Aku menyukainya," katanya, lalu dia memelukku.

Ia melepaskan pelukannya, dan berkata, "Buku cerita itu yang membawamu ke sini. Buku itu, dibuat oleh sahabat Putri sendiri, yaitu ... Desya. Ia tidak mau jika Putri kehilangan arah untuk kembali ke sini, ia sangat menyayangi Putri. Sama seperti semua isi kerajaan ini."

"Desya ... membuat buku cerita, untukku?" tanyaku, dan Chenle mengangguk. Ia berdiri, sepertinya akan pergi, sama seperti Renjun tadi.

"Dia mengetahui jika ingatan tentang dunia ini akan menghilang di otak Putri, jadinya ia membuatnya untukmu." Chenle berjalan mundur, seperti tak rela harus pergi.

Tiba-tiba ia berteriak saat sudah mulai menjauh. "Oh ya, jangan bilang jika itu sesuatu yang rumit untuk dipahami. Karena sebenarnya, diri kita sendirilah yang membuatnya rumit."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Real Dream [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang