Aku membuka mata secara perlahan, melihat ke sekeliling. Masih berada di hutan itu. Tapi, apakah aku sendirian?
Dengan cepat aku berdiri, walau kembali terduduk karena aku merasa pusing. Pohon besar itu, tepat berada di hadapanku saat ini.
Namun, aku tidak melihat ada sifat Geya yang baik di sana, lalu kemana ia? Apakah mereka bisa menghilang secara tiba-tiba seperti sekarang ini?
Aku benar-benar merasa sendirian saat ini, dengan angin yang berembus sedikit kencang di dekatku. Aku melihat ke atas, ternyata mereka semua di sana, memerhatikanku dari atas.
Desya tertawa paling kencang karena tak sengaja bertatapan denganku. Ia terlihat berkali-kali lipat lebih menyebalkan dari biasanya.
Mereka semua turun, dan langsung mengelilingiku. "Apa kamu ketakutan karena ditinggal sendiri, Zelin?" tanya Desya, tawanya malah semakin kencang.
"Tidak," kataku, tidak mau bertatapan dengannya, aku lebih memilih berpaling. Pura-pura kesal dengannya, walau sebenarnya itu adalah kenyataan—aku kesal padanya.
"Wah ... Putri kita kesal, wajahnya imut sekali." Desya semakin mendekatiku, dengan gencarnya ia mengejekku.
Sepertinya ia benar-benar ingin merasakan ditebas pedangku.
Aku kembali melihat ke sekitar, dan baru menyadari sesuatu. Kemana Geya? Sifatnya yang baik dan jahat itu tidak terlihat dalam pandanganku.
"Mencari siapa?" Desya bertanya, lalu mengikutiku melihat ke sekeliling.
"Kemana Geya?" Setelahnya Desya tertawa lagi, memangnya ada apa? Kenapa dia terus-menerus tertawa dari tadi, padahal tidak ada hal yg lucu.
"Matamu sepertinya bermasalah, ya?" Aku menatapnya tajam, merasa tidak lucu dengan perkataannya. "Itu, ada di belakang pohon."
Aku berdiri, ingin mendekatinya tapi Jisung menahanku. "Keadaannya masih belum baik, Putri. Mereka terlihat sedikit kesusahan untuk berdamai. Jangan pergi ke sana dulu, takutnya Putri akan terluka."
Aku tidak memedulikan Jisung, dan langsung menghampiri Geya tanpa perasaan takut sekali pun. Aku ingin cepat-cepat menyelesaikan ini semua.
Geya terlihat sedang bersandar pada pohon dengan mata terpejam. Tangannya memegang batu dengan kuat, aku khawatir ia akan terluka.
Dengan segera aku duduk di sampingnya, membuat ia terlonjak kaget dan melihat ke arahku dengan tatapan takut.
Aku memegang tangannya yang menggenggam kuat batu itu. Melepaskan batunya, dan membuang ke dasar jurang.
Geya terlihat sangat sedih saat melihat batu itu sudah jatuh ke dalam jurang, yang entah sekarang sudah sampai mana.
Aku menatapnya, ia juga ikut menatapku. Kami saling pandang dalam sementara, dengan keheningan dan embusan angin yang berada di sekitar.
"Maafkan aku." Geya membuka suaranya, terdengar sangat parau. ia menundukkan kepalanya, dan aku membuatnya menoleh kembali ke arahku.
"Tidak perlu ada yang meminta maaf, karena tidak ada yang salah di sini." Geya tiba-tiba saja mengeluarkan air matanya, dan aku menjadi panik.
Aku tidak biasa menangani orang yang menangis, seringkali aku menjadi panik karenanya. Aku hanya memeluknya, membiarkannya menangis dalam dekapanku.
"Putri, ayo kita pulang!" Terdengar suara Chenle berteriak, dan aku pun mengajak Geya untuk berdiri.
Ia menuruti, dan langsung menggenggam erat tanganku, seolah tidak mau terlepas sedikit pun. Sebelum berjalan, aku menanyakan suatu hal yang menurutku penting.
"Bisakah kita berdamai, antara Kerajaan Kegelapan dengan Kerajaan Cahaya?" Geya mengangguk, aku jadi senang mendengarnya.
☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆
"Kenapa kita tidak menggunakan portal saja, sih?" Sedari tadi Desya terus-menerus mengoceh, menanyakan perihal portal. Ia terus mengeluh karena kakinya gatal dan sakit terkena tumbuhan atau digigit serangga seperti nyamuk.
Aku juga merasa lelah, tapi keinginanku untuk pulang sangatlah besar. Begitu juga dengan rasa senang dalam hatiku, rasanya sangat besar dan tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata.
Aku hanya akan kembali berharap jika semuanya akan terus membaik, dari sekarang.
Namun, apakah harapanku kali ini akan terwujud? Semoga saja terwujud, karena aku mengharapkan sebuah kebaikan.
Membuat kedamaian tidaklah mudah, karena banyak yang harus dilawan, termasuk teman sendiri jika memang ia berkhianat. Tapi, yang berkhianat tidak akan selamanya jahat.
Begitu juga dengan Geya. Ia berubah menjadi baik, karena telah berdamai dengan dirinya sendiri, dan sifatnya. Sekarang ia bagaikan penyihir yang utuh, tanpa kecacatan satu pun.
Geya berjongkok di tengah-tengah jalan, membuatku memberhentikan langkah kakiku yang berjalan.
Ia seolah menemukan sesuatu yang spesial, membuatku terus memperhatikannya sampai ia berdiri bangun.
Aku menepuk-nepuk tangan saat mengetahui apa yang ia bawa, dengan senyuman yang paling tulus ia menyerahkannya padaku. Aku menerimanya dengan senang hati.
Ia menemukan bunga dengan daun berwarna hijau yang bentuknya memanjang, akar-akarnya berwarna putih. Sangat unik.
"Itu Bunga Anggrek Bulan. Cantik, 'kan?" Geya bertanya denganku, dan aku angguki kepala. Ia benar, bunga ini cantik.
"Terima kasih."
Kami semua melanjutkan kembali perjalanan menuju rumah, agar cepat sampai.
Aku akan berjanji untuk menjaga bunga ini, sampai bertumbuh banyak. Karena menurutku, ini adalah pemberian Geya yang sangat berarti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Dream [SUDAH TERBIT]
FantasiSudah terbit di Sinar Pena Amala [Fantasy-Fanfiction] [Sudah tamat] Setelah membaca buku cerita dengan ending yang menggantung, aku dihantui oleh mimpi tentang dunia lain. Aku mengira, ini semua hanya bunga tidurku. Namun, aku salah. Ternyata ini a...