Aku merasa bebas saat ini, karena tidak ada gangguan dari manapun, siapapun, dan kapanpun. Sangat bebas untukku, dan ini seperti waktu untukku sendiri.
Setelah pagi tadi aku pergi ke kebun dan melihat sungai bersama Desya, aku merasa diriku segar kembali. Seperti tidak ada beban, ditambah setelah pulang dari sana, aku dibiarkan sendiri dan bebas sampai sore ini.
Tapi, belum sampai malam diriku tenang di kamar, sudah diganggu kembali oleh ketujuh kilat yang datang dengan rusuh. Aku ingin sekali mengumpatinya.
Mereka berkumpul, tapi mengabaikanku. Aku merasa sangat kesal dan ingin mengusirnya, tapi urung karena aku juga ikut tertawa dengan lelucon mereka.
"Di dekatku sudah ada si imut." Haechan berbicara, dan berlagak sedang siaran langsung di depan kamera. Renjun melirik ke arahnya, seperti merasa bahwa dirinya-lah yang imut, dan akan ditanyai oleh Haechan.
Namun, Haechan malah menghampiri Jisung yang berada jauh di depannya. Raut wajah Renjun seperti menahan emosi, aku jadi tertawa dibuatnya. Benar-benar, ya, Haechan itu selalu menguji kesabaran orang yang ada di dekatnya.
Setelah kembali ke tempatnya, Haechan lagi-lagi berbicara, "Ini dia si pendek yang sangat baik, dia berada di sebelahku." Lagi-lagi Renjun seperti menaruh harap pada Haechan, dan merasa jika itu adalah dirinya.
Aku tertawa sangat kencang karena Haechan malah menghampiri Chenle yang berada di sebelahnya. Jaemin dan Jeno sesekali mengobrol berdua, sedangkan aku dan Mark seperti tengah beradu tawa. Sungguh, rasanya perutku kram.
Renjun menarik kerah baju Haechan saat ia berbalik setelah berbincang dengan Chenle. Ia terlihat emosi, seperti dibuat-buat. Aku semakin tertawa kencang, hingga akhirnya menyadari sesuatu.
"Apa ada yang melihat Desya?" Ketujuh kilat itu melirikku secara bersamaan. Kemudian mereka saling pandang.
"Tidak tahu, sepertinya sedang membantu para pekerja kerajaan di dapur," kata Mark, yang sudah memberhentikan tawanya.
"Tapi aku tidak melihatnya di manapun tadi," kata Jeno menimpali. Aku mendadak khawatir, takut terjadi apa-apa pada Desya.
"Apa ... dia sedang berkunjung ke Kerajaan Kegelapan?" Renjun menimpali lagi, membuatku semakin cemas. Jika Desya benar ke sana, untuk apa?
"Sepertinya dia ke sana jika pamit pada Ratu dan Raja, apa kita harus bertanya?" tanya Haechan meminta pendapat. Aku mengangguk buru-buru karena aku butuh kepastian untuk saat ini.
"Tapi, bagaimana jika beberapa orang dari kita saja yang menanyai? Sebagiannya menjaga Putri, takut jika terjadi apa-apa." Aku—sangat—kesal, karena Haechan berkata begitu, seolah-olah akan terjadi apa-apa padaku.
"Aku tidak apa-apa, Haechan! Aku bahkan ingin menanyainya langsung pada ibunda dan ayahanda." Renjun menggeleng, aku merasa aneh padanya.
"Putri di sini saja. Benar kata Haechan, sebagian dari kita akan menjaga Putri." Rasanya aku benar-benar ingin menangis saat ini. Mereka seperti menganggapku lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Dream [SUDAH TERBIT]
FantasíaSudah terbit di Sinar Pena Amala [Fantasy-Fanfiction] [Sudah tamat] Setelah membaca buku cerita dengan ending yang menggantung, aku dihantui oleh mimpi tentang dunia lain. Aku mengira, ini semua hanya bunga tidurku. Namun, aku salah. Ternyata ini a...