Part 44

223 28 2
                                    

Setelah mereka semua pergi dari tempat ritual itu, mereka meyakini para dukun itu akan kembali mencari mereka. Tidak akan aman jika mereka kembali ke pemukiman, para dukun tak segan akan membunuh mereka semua tanpa ampun.

Seluruh tubuh Tuta berubah seperti semula, warna hitam lumpur itu berubah menjadi warna kulit sebelumnya.

Rokhaya dan Rasepna yang memapahnya itu berhenti sejenak untuk mengamati.
Sehingga Daryan dan Sugeng yang memapah Adipani pun menyadari pemberhentian mereka.

Agaknya mereka berjalan sudah cukup jauh, meminta untuk beristirahat sejenak. Sambil menghangatkan tubuh mereka, rasanya semakin larut malam itu, semakin hawa dingin menusuk pori-pori mereka dan tembus dari pakaian yang mereka kenakan.

Semua setuju, Tuta dan Adipani di rebahkan di satu batang pohon yang sama. Dimana saat ini Daryan, Sugeng, dan Rasepna mencari ranting kayu disekitarnya untuk dijadikan bahan membuat api agar dapat menghangatkan mereka dan melindungi dari terpaan nyamuk-nyamuk betina hutan yang kehausan darah untuk proses kandungannya.

Rokhaya melihat Tuta yang kini nampak telah sadar, ia juga mengatakan kepada Tuta bahwa mereka semua akan membawa Tuta menuju hunian Rumangsih.

"Rumangsih?"

"Iya, Tuta. Rumangsih masih hidup. Ia tinggal dihutan bersama seseorang yang menyelamatkan hidupnya."

"Syukurlah."

Sementara Adipani kini nampak terlelap disisi Tuta. Tuta menyadari Adipani, namun ia tidak tahu jika Adipani mengalami luka di belakang tubuhnya.

"Adipani sudah terlelap, sebaiknya kau juga harus terlelap. Kami akan menjaga kalian." Ujar Rokhaya.

"Terimakasih banyak, Rokhaya." Ucapnya seraya memeluk tubuh Rokhaya, Rokhaya menyambut pelukannya.

Sedangkan obor menerangi, yang dibawa oleh Daryan.

Setelah mereka bertiga mengumpulkan ranting kayu yang kering dan menumpukannya menjadi satu, perlahan Daryan membakar gundukan ranting tersebut. Selama kurang lebih satu menit, titik kecil api membakar kayu yang lebih hangat, setelah itu perlahan-lahan kayu terbakar.

Mereka semua saling mengelilingi gundukan api tersebut dengan berjarak 2 meter. Karena dalam 1 meter rasa panas api begitu menyengat bagaikan terpanggang.

"Semoga saja api ini tidak membakar hutan. Dan menyelamatkan kita dari gangguan nyamuk dan anjing hutan." Harapan Sugeng.

"Aku lapar, apa ada yang membawa makanan?" Tanya Rasepna yang kelaparan saat ini.

"Kami semua juga lapar, Sep. Dan salah satu dari kita pun tidak ada yang membawa makanan. Kau tahu kondisinya saat ini." Ujar Sugeng yang memandang api besar di hadapan.

"Setelah esok tiba, kita akan berjalan menuju hunian Rumangsih disana. Lebih tepatnya hunian sahabat Rumangsih. Dan kita akan meminta makanan disana, jika tak ada seperti biasa, Aku dan Rasepna akan mencari umbi hutan disekitar." Ujar Rokhaya. Ia pun memandang hutan disekitarnya, tidak ada pohon merambat sama sekali. Kemungkinan apabila ada pohon merambat, disana bisa saja ada pohon ubi atau bengkuang, bila beruntung ia bisa menemukan pohon Singkong dan juga kentang, atau bahkan pohon pisang sekalipun.

"Setidaknya malam ini kita tahan, esok pagi akan berjalan kembali ke hunian seseorang. Sebaiknya kita tidur untuk memulihkan energi kita. Lagipula para dukun itu tak akan kesini, sudah terlalu jauh. Apalagi mereka sedang babak-belur sekarang. Bisa saja esok hari mereka akan memburu kita. Aku akan tidur duluan." Ucap Daryan, yang kemudian ia menghampiri sebuah batang pohon di belakangnya, dan mengambil posisi tidur dibawah pohon itu.

"Daryan benar, dukun itu tidak akan mengejar kita malam ini."

"Tak apa, bagi yang belum mengantuk bisa untuk berjaga-jaga. Jika mau saling bergantian. Aku akan berjaga duluan, kalian berdua tidur. Nanti kita akan berjaga gantian, pertama tugasku selama dua jam..." Ujar Sugeng, yang kemudian diputus oleh Rokhaya.

"Dua jam tidak cukup untuk beristirahat. Sepertinya 3 jam cukup. Sehingga bisa saja dari kita akan terus berjaga hingga subuh tiba." Sarannya.

"Baiklah, 3 jam pertama untukku. 3 jam berikutnya Rasepna siap-siap untuk berjaga, 3 jam berikutnya sepertinya Daryan yang harus bergantian..." Ucapnya, lalu di putus kembali oleh suara Daryan dari jauh.

"Aku pilih subuh saja, setelah Rokhaya menggantikan posisiku." Pintanya sambil menutup matanya.

"Baiklah, tak masalah bagiku. Aku akan berjaga setelah Rasepna. Dan setelah aku siapa yang berjaga? Sepertinya akan masih ada jam berikutnya sebelum pagi." Tanya Rokhaya.

"Pukul berapa sekarang?" Sugeng bertanya balik.

"Kita kesini sekitar pukul 6 hampir 7 malam. Dimana perjalanan menuju tempat ritual memakan waktu sekitar 25 menit sepertinya. Dan kita menghabiskan belasan menit untuk bertarung dan tiba sampai disini. Bisa saja sebentar lagi pukul 8 malam." Ungkap Rokhaya dengan amat serius.

"Oke baiklah. 3 jam pertamaku, ditambah 3 jam Rasepna, 3 jam penjagaanmu, dan 3 jam untuk Daryan..." Sugeng menghitung setelahnya. Menghitung berapa waktu yang tersisa untuk mereka dapatkan untuk berjaga kedua kalinya setelah semua mendapatkan giliran.

"... Baik. Daryan akan berjaga pada pukul 5 subuh hari hingga pada pukul hampir 7. Ia akan membangunkan kita dan setelah itu kita akan langsung bergegas menuju hunian yang kau maksud itu."

"Baiklah jika seperti itu. Aku akan tidur duluan. Rasepna kau harus mengisi enegimu. Setelah ini kau akan mendapatkan giliran." Ujar Rokhaya yang kemudian ia mengambil posisi terlentang berbantal lengan di tempat yang ia duduki tadi.

"Baiklah." Ucap Rasepna singkat.

Sugeng hanya memperhatikan Rasepna yang kini mengambil posisi tidur terlentang ditempatnya berbantal gundukan tanah berumput.

Kini hanya Sugeng yang menjaga dikeheningan malam. Ia melihat seluruh sahabatnya sudah terlelap sangat mengantuk. Kini dirinya yang harus menjaga semua sahabatnya yang terlelap. Memang agak membosankan, dan juga hutan ini nampak menakutkan.

Suara burung hantu dan burung gagak saling menghiasi keheningan malam itu. Untung saja suara jangkrik dan belalang pada malam hari menemaninya. Jadi walaupun hening tanpa suara sahabatnya, setidaknya hutan ini tidak benar-benar hening.

Ia masih duduk memandang api yang kini menyala-nyala. Sambil melihat apakah kayu yang terbakar akan padam selanjutnya.
Setelah itu ia mencari ranting kayu disisi hutan menggunakan obor sebagai penerangan kembali, obor yang tadi ia tancapkan di dekat pohon, namun tidak membakar pohon tersebut.

Sesekali ia menoleh para sahabatnya yang masih terlelap tidur.

Ketika ia mencari ranting kayu kering yang jatuh itu, ia menyadari seperti ada seseorang yang mengamatinya dari balik pohon besar di hadapannya. Sebuah kepala muncul dari belakang pohon.

Sepertinya sesosok wanita berambut panjang, namun wajahnya hitam seperti terkena kutukan.
Sugeng yakin wanita itu adalah salah seorang yang tengah mengawasinya dengan serius, sehingga ia kini mendekatinya. Sengaja tidak berteriak untuk memanggil, dikhawatirkan dapat membangunkan para sahabatnya yang sedang terlelap.

Wanita itu kemudian berlari, sehingga Sugeng harus membuang ranting pohon yang ia cari untuk mengejar wanita itu. Kali ini obor yang dibawanya harus mati karena kehabisan bahan bakar kain yang direndam minyak tanah itu. Sehingga obor bambu tersebut harus mati, perlahan-lahan meredupkan cahayanya.

Wanita itu sungguh cepat sekali berlari. Sugeng membuang obornya, dan ia kini berlari sekencang mungkin demi mengejar wanita misterius itu.

Ada dimana sebuah pohon yang mati, wanita itu hilang disana. Tidak ada jejaknya yang terlihat. Sehingga menyulitkan Sugeng untuk melihat gerak-geriknya.

"Kemana wanita itu?" Bertanya pada dirinya sendiri.

Dan tak lama wanita menyeramkan itu tiba-tiba muncul dihadapannya dan berlari secepat kilat mengarah padanya. Dan saat wanita itu menabraknya, Sugeng tersentak kaget lalu jatuh terlentang.

Kelimut (Revisi) END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang