Part 9

345 32 0
                                    

Suara kentongan yang sangat cepat membuat kebisingan disekitar. Malam itu kira-kira hampir pukul 23.00.

Seseorang mengetuk bambu kentongan berkali-kali. Pertanda jika ini terdapat suatu tanda bahaya.

Semua orang keluar rumah, termasuk Tuta dan juga Ibunya yang terbangun. Sedangkan Nira masih istirahat didalam, ia memandang langit-langit atap kamarnya.

Orang-orang berjalan lalu berkerumun di salah satu rumah penduduk, yang ternyata rumah tersebut adalah rumah milik keluarga Widarih.

Ada kabar yang mengatakan bahwa terjadi pembunuhan disana. Sang ayah menangis memapah istrinya yang telah mati tergorok. Sehingga darah membekas di baju yang ia kenakan.

Orang-orang disana panik melihat kejadian itu.
Beberapa dukun menghadiri kerumunan itu, dan mereka mengatakan secepatnya segera di kubur melalui tahap ritual, agar bebas dari bencana.

Sang ayah mengatakan jika pembunuh istrinya adalah anak mereka sendiri Widarih. Widarih kabur dari rumah dan malam itu ia kembali lalu kedapatan ayahnya tengah kabur setelah menggorok ibunya.

Semua orang percaya akan hal itu.
Membuat Tuta merasakan kesedihan, ia kecewa terhadap Widarih atas apa yang ia lakukan kepada ibunya.

Sehingga Widarih kini menjadi buronan, dan para dukun menginginkannya kembali untuk dilakukan ritual buang sial.

Dan saat itu juga, mayat ibu Widarih itu langsung dibersihkan, dimandikan, lalu di bungkus kain bercorak.

Disini, didesa ini para penduduk belum mempunyai agama. Mereka masih mempercayai ajaran nenek moyang, dan para dukun sebagai pemimpin ajarannya.

Kini beberapa orang saja yang boleh melihat upacara pemakaman, ditemani 7 orang dukun serta ayah Widarih.

Mayat Ibu Widarih yang terbungkus kain itu di rebahkan dalam posisi terlentang. Didepannya para dukun memulai pendo'aan.

Mereka semua duduk dibawah tanah.
Para dukun berdo'a, mulut mereka saling berkomat-kamit.

Kemudian salah seorang dukun mengambil seekor induk ayam berwarna hitam legam yang masih hidup itu didepannya. Ayam itu terikat sangat kencang.

Lalu jari-jemarinya memutuskan saluran leher pernafasan ayam betina itu sangat kencang, sehingga daging-dagingnya terbuka lebar serta darah terciprat.
Ayam itu merasakan sekaratnya. Dan darah dari leher ayam itu ia taruh pada sebuah batok kelapa hingga penuh.

Setelah itu, wadah pembakaran berisi bara api itu sedikit di teteskan darah ayam betina lewat batok kelapa oleh salah seorang dukun, sebagai syarat upacara.

Lalu menabur kemenyan serta bunga-bunga untuk dibakar dalam pembakaran tersebut. Sehingga bau sangit amat tercium hingga menusuk hidung.
Mulut dukun itu berkomat -kamit membaca mantra.

Setelah usai melakukan ritual, mayat Ibu Widarih langsung segera disemayamkan.
Diatas kuburannya di beri wewangian serta bunga 3 rupa yakni Kantil, Kamboja dan Melati.

Sang ayah berpura-pura menangis tersedu-sedu. Seakan ia merasakan kehilangan yang begitu dalam.
Para dukun memahami kehilangan yang di rasakan oleh sang ayah.
Kemudian sang dukun meminta kepada sang ayah, bahwasannya mereka membutuhkan Widarih untuk segera di ritualkan, demi menghilangkan bencana yang akan terjadi nanti atau bisa dibilang buang sial.

Pemakaman telah berlalu. Kini hujan turun dengan amat derasnya.
Sang ayah kembali kerumahnya, serta dukun yang kembali ketempat singgahnya mereka di kejauhan rumah penduduk.

Sementara itu, Widarih berjalan menuju sebuah rumah yang ia tuju. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Dan ia menggigil kedinginan memeluk badannya sendiri.

Kelimut (Revisi) END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang