Part 15

302 29 0
                                    

Para dukun membawa Rumangsih menuju hutan dengan cara paksa.
Rumangsih yang nampak lemas itu hanya bisa pasrah, tak ada yang dapat ia lakukan, lagipula dirinya harus berhadapan dengan 6 orang dukun yang tersisa, yang sebelumnya berjumlah 7 orang dukun.

"Langsung kita ikat saja tubuhnya di pohon besar hingga menjelang malam ritual." Ujar ketua dukun yang terlihat berumur 50 tahun namun masih nampak segar bugar.

Dua dukun yang memapah Rumangsih menurutinya.

Tak jauh dari pemukiman penduduk, Rumangsih langsung di sandarkan dekat sebuah pohon. Setelah itu salah seorang dukun yang membawa tali langsung mengikatkan tubuh Rumangsih yang tak berdaya itu dengan sebuah tambang.

Setelah selesai mereka kembali menuju rumah salah seorang dukun yang tadi terbunuh untuk melakukan penguburan.

Rumangsih yang sudah babak belur bersimbah darah itu nampak tak berdaya. Ia menangis meratapi nasibnya kini. Namun ia bahagia karena telah menghabisi nyawa dari salah satu dukun yang menumbalkan sahabatnya Widarih.

Kasus yang menggegerkan penduduk setempat kini telah terdengar oleh kedua orangtua Rumangsih. Mereka sangat terpukul dan sekujur tubuhnya gemetar hebat.
Mereka tidak menyangka betapa kejam perlakuan anak semata wayangnya.

Hingga mereka mencoba untuk menemui anaknya di hutan yang mereka ketahui dari pembicaraan orang-orang sekitar.
Para penduduk sekitar pun sangat kecewa terhadap Rumangsih, terlebih lagi kepada kedua orangtua Rumangsih yang kini menjadi sorotan publik.

Setelah mengetahui kabar tersebut membuat Ibunya terus-terusan menangisi peristiwa tersebut.
Sampai hati melakukan perbuatan yang sangat keji itu tanpa sadar, pikir mereka.

Beberapa puluh menit setelahnya, acara pendoa'an atas kematian sang dukun dilaksanakan di dalam rumah miliknya sendiri. Sang ketua dukun berada paling depan berhadapan dengan mayat dukun yang terbungkus kain juga dilapisi tikar anyaman.

Disisinya terdapat wadah pembakaran yang menyala karena bara. Dukun itu menggerakan jari-jarinya seakan-akan sedang melafalkan beberapa mantra yang di ucapnya dalam hati.

Kemudian ia menaruh kemenyan, lalu berkomat-kamit.
Kembali menaruh kemenyan kedua kalinya ke dalam wadah pembakaran,  dan kembali berkomat-kamit membaca mantra.

Setelah acara pendoa'an telah usai, mereka langsung membawa mayat berbungkus kain serta tikar anyaman itu untuk keluar rumah.

Sementara ketua dukun masih berada didalam, ia menuju tempat tidur yang menjadi saksi pembantaian. Dimana selimut disana masih dalam keadaan yang sama, darah itu masih ada, namun kini nampak mengental.

Sang dukun kembali mengambil sebuah wadah bunga segar yang tadi ia petik dari kebun miliknya dan berisi 3 rupa bunga, yakni Kantil, Melati dan Kamboja.

Ketua dukun tersebut kembali menghampiri tempat tidur itu, lalu menabur 3 rupa bunga tersebut di atas tempat tidur yang bau anyir.

Kemudian ia kembali mengambil pisau bersih nan mulus pada meja di dekatnya dan wadah bunga itu ia taruh dimeja tersebut.
Lalu pria itu membelah telapak tangan kanannya dengan pisau tersebut hingga mengalir darah segar, segera ia menjatuhkan darah yang berada di telapak tangannya itu ke arah tempat tidur beralas selimut berdarah.

Tetesan darah itu menambah noda darah di selimut, namun hanya sedikit.
Setelah itu pria tersebut kembali berkomat-kamit membaca mantra untuk orang tersebut agar tenang di alam baka.

Setelah itu ia mematikan pelita-pelita yang masih menyala di dalam ruangan rumah dimanapun. Lalu ia keluar dan menutup pintu dengan rapat, kemudian menguncinya dengan rantai dan gembok.
Hunian itu kini dikunci dan mungkin dikeramatkan.

Kelimut (Revisi) END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang