Part 28

239 27 0
                                    

Malam ini, didalam rumah keluarga Tuta. Cahaya biru pudar seakan bercampur aduk dalam penerangan pelita. Disebuah kamar Tuta. Tuta menutup jendela kamarnya di keadaan yang nampak sunyi tanpa suara.
Ia berjalan pelan menuju kamar Nira. Ibu tidak ada disana. Kemungkinan sudah terlelap.

Tuta memasuki kamar Nira. Dari jauh ia melihat Nira terlelap.
Ada sebuah pelita di atas meja disisi, yang menerangi keadaan gelap di dalam sebuah kamar. Kamar tidur yang merupakan kamar pribadi milik Nira. Dimana sekarang gadis itu terlelap sangat indah dan tenang.

Tuta kembali duduk di kursi dan diposisi yang sama seperti sebelumnya. Menjaganya serta memandang kembali wajah Nira sebelum Ibu datang untuk menjaga Nira bergantian. Dimana jendela di kamar Nira masih terbuka lebar. Pandangan gelap dari arah sana terlihat dan nampak udara dingin memasukinya, yang kini dirasakan Tuta.

Tuta terdiam, pandangannya kabur. Pikirannya kosong dan mimik wajahnya datar.

"Tuta..."

Suara Nira memanggilnya dengan keras, dan pandangan matanya membuka lebar menatap tajam tanpa putus. Tuta menoleh ke arah kakaknya. Ia diam tanpa suara, membisu.

Nira kemudian duduk di atas tempat tidur. Dimana pelita tiba-tiba mati tertiup angin. Tuta pun tak menghiraukannya.

Nira menunjukkan jari-jarinya, ia  mempunyai kuku panjang tajam nan runcing bagai pisau pada jari sebelah tangannya. Ia memandang Tuta yang nampaknya terkejut namun tidak bersuara.

Pupil mata Nira nampak hitam, tersorot dari cahaya bulan yang nampak terang dari balik jendela. Nira menatap Tuta.

Lalu jari telunjuk kanannya yang memiliki kuku amat panjang itu membelah lengan kiri dirinya sendiri yang di angkat sebatas bahu. Tuta melihat itu, namun ia tak bereaksi apapun.

Nira membelah lengannya dengan kuku yang tajam tanpa merasakan sakit, wajahnya tetap tenang. Kuku yang ditancapkan pada lengannya itu terus menusuk lebih dalam lagi. Sehingga darah keluar dari belahan lengannya.

Kemudian ia melebarkan belahan lengannya, dan saat itu juga darah keluar dan jatuh di kain yang menyelimuti kakinya.

Darah itu mengalir sangat deras walau dalam celah yang kecil. Sampai-sampai Nira sibuk menjilati lengannya yang berdarah itu, lidahnya nampak sangat panjang dan berwarna hitam. Nira tersenyum memandang Tuta yang rupanya ketakutan itu.

Dan siapa sangka, lantai tanah di dalam kamar Nira itu tergenang oleh banjir berwarna merah yang di hasilkan dari darah yang keluar lewat belahan lengan Nira. Darah itu amat bau busuk menyengat. Sehingga Tuta pun berteriak kencang-sekencangnya karena panik bercampur rasa takut.

Dan, saat itu juga ia tersentak bangun dari lelapnya. Ia bermimpi buruk. Dan didalam kamar itu nampak bercahaya karena penerangan pelita di meja dekat sisinya.

Mimpi buruk lagi. Entah berapa kali ia bermimpi tentang darah.

Sehingga kali ini ia beranjak meninggalkan Nira yang terlelap. Ia bangun dari kursi yang di dudukinya. Dan segera keluar menuju pintu belakang rumah untuk mencuci wajahnya ditempat dimana ada sebuah ember berisi air yang biasanya digunakan untuk mencuci barang sehari-harinya.

Didapur, ia telah melihat pintu belakang rumahnya telah terbuka lebar. Ia juga tidak mengetahui siapa yang membukanya. Apakah Ibu sedang keluar? Mungkin sedang mencari air.

Tuta segera keluar dari rumahnya. Mencari sebuah air di dalam ember, namun ada satu buah ember yang kosong tanpa air. Akhirnya dengan inisiatifnya sendiri, ia beranjak menuju sungai sendirian di malam gelap seperti ini.

Tak lupa ia menutup pintu belakang rumahnya. Dikhawatirkan akan ada orang jahat yang memasuki rumahnya. Apalagi Nira sendirian disana. Ibu pun entah kemana. Ia belum mengecek keberadaan Ibu di dalam kamarnya.

Tuta tak lupa mengambil pelita yang menerangi dapur itu sebagai teman dalam kegelapan perjalanannya mencari air. Sehingga kedua belah tangannya masing-masing menggenggam pelita terang dan juga tali besi dari ember kosong tersebut.

Benar-benar sunyi, seluruh rumah warga nampak sunyi. Sepertinya ini sudah sangat malam. Tuta merasakan hawa dingin menusuk kedalam pori-porinya. Benar-benar dingin dan mencekam.

Ia melewati rumah para penduduk, tak lupa melewati rumah Adipani yang nampak terang oleh pelita dan sangat sunyi. Sepertinya ia telah terlelap.

Terus berjalan menembus keheningan malam, melewati pohon bambu yang pernah ada bukti dimana penghuninya itu terlihat seperti roh dukun yang amat seram. Tuta tahu kabar tersebut. Ia bergidik ngeri.

Pohon-pohon seakan saling bersahutan satu sama lain. Apalagi bunyi lolongan anjing hutan nampak terdengar. Kata orang-orang disini anjing hutan merupakan Predator paling ganas dihutan tersebut. Jadi ketika kedalam hutan harus siap bertemu salah satu dari mereka dan menggenggam batang kayu untuk bertahan dari serangannya. Mungkin terkena rabies. Makanya ganas seperti itu.

Langkahnya telah sampai menuju sungai yang di inginkannya. Berharap tidak akan ada roh yang mengganggunya.
Tuta segera mengambil air tersebut menggunakan embernya. Karena disana tidak terdapat gayung.

Untuk perempuan lembut seperti dia, mengangkat air didalam sebuah ember yang berisi 5 liter air merupakan hal yang terberat baginya, ketimbang mendorong gerobak berisi sayur.

"Permisi, saya meminta air mbah." Ujarnya sebelum mengangkat ember berisi air tersebut di jeramba yang ia pijak.

Untuk yang belum tahu, jeramba merupakan sebuah pijakan yang berada dipinggir sungai sebagai tempat orang-orang untuk mengambil air atau mencuci barang perabotan mereka, atau bahkan mandi. Jeramba dibuat dari kayu yang memiliki empat kaki. Kaki-kakinya dibuat dari kayu yang kokoh lalu ditancapkan kedalam tanah hingga dalam, agar kokoh. Lalu memasang kayu yang lain, saling di eratkan dengan paku atau tali yang kuat sehingga terbentuk sebuah pijakan kayu yang kokoh.

Setelah Tuta berhasil mengambil air tersebut, ia segera permisi kembali kepada penunggu sungai yang masih asri itu. Lalu ia beranjak pergi meninggalkan sungai tersebut setelahnya.

Namun setelah ia berbalik badan, ia merasa heran. Jalur jalananan yang biasanya sering dilewati orang-orang sudah ditumbuhi pohon-pohon lebat menjulang tinggi. Ia segera melewati hutan didepannya ini dengan cepat.

Sepertinya ia salah jalur, pikirnya.
Tapi ini benar-benar aneh. Yang dilihatnya ini mirip hutan. Apakah ia terjebak disini, didalam hutan?

Tuta berbalik badan kembali untuk menuju sungai saja, berharap disungai itu nanti ia dapat melihat jalur yang tepat. Ia melewati hutan itu terus menerus demi menemukan kembali sungai yang asri.

Akan tetapi sepanjang 20 meter ia tidak menemukan lokasi sungai tersebut. Dimana sebenarnya ia berada?

Tuta panik, ia yakin sekali ada sungai di sekitar sini tadi. Tapi mengapa tiba-tiba hilang seperti ini? Sedangkan ember yang berisi air itu masih ia genggam, pelitanya pun masih di genggam setelah selesai mengambil air di jeramba dan bergegas pulang.

Ia tersesat didalam hutan. Tuta ketakutan karena suara hutan seakan sedang tertawa menatapnya kebingungan itu.

"Dimana aku?"

Kelimut (Revisi) END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang