Part 35

225 23 0
                                    

Malam pun tiba seperti biasanya.

Wardana yang sedari tadi mencari Rumangsih itu telah menemukannya kembali setelah Rumangsih tengah memasak ubi rebus di tungku.

Rumangsih juga yakin Wardana tengah mencarinya, dikarenakan waktu yang begitu malam ia tak kunjung jua kembali dari pasar.

Sengaja ia tak mencari Wardana, karena memang ia takut tersesat ketujuan arah yang berbeda.

"Kau mencari ku?"

Nafas Wardana tersengal-sengal memandang Rumangsih yang sibuk itu.

"Kemana saja kamu?"

"Hanya pergi ke desa. Memastikan jika desa kita masih aman."

"Desamu, bukan desaku." Tolak Wardana.

"Baiklah."

"Aku mengkhawatirkanmu, Rumangsih."

Lontaran kata itu seakan membuat Rumangsih terhanyut. Apakah Wardana kali ini merasa takut untuk kehilangan dirinya?

"Aku minta maaf. Jika membuatmu khawatir. Tapi kamu tenang saja, kita masih bisa bersama." Ujarnya di akhiri dengan senyuman yang indah.

"Tunggu aku jika kau ingin pergi. Biar aku ikut untuk menjagamu." Tuturnya lembut.

Pada dasarnya hubungan mereka lama-kelamaan seakan tidak ingin terpisahkan. Walau pertemuannya hanya sebatas kebetulan semata. Rupanya setelah bersama, ada sisi lain dari masing-masing hati mereka.

Wardana mulai menerima jika dirinya telah jatuh hati kepada gadis itu. Meskipun belum ada ikatan tali pernikahan, Wardana berjanji pada dirinya untuk tidak berlaku jahat kepada Rumangsih.

Memang pada bagian ini merupakan sebuah alur singkat yang akan melewati meliuk-liuknya hari demi hari yang biasa di lalui.

Wardana dan Rumangsih menjalani hari-hari seperti seorang keluarga. Mereka saling membutuhkan tenaga masing-masing. Seperti bagaimana Rumangsih yang mengerjakan segala urusan rumah tangga, dan Wardana bekerja layaknya seorang suami untuk menafkahi istrinya. Rumangsih pun masih berkeliaran mendekati desanya, namun kali ini ia mengakal Wardana. Dan telah membuat janji kepada Rokhaya dan Rasepna agar hanya mereka dan orangtuanya saja yang mengetahui jika dirinya masih hidup hingga saat ini. Mereka juga sepakat untuk mengajak Rokhaya dan Rasepna berkunjung ke hunian milik mereka di dalam hutan, dan senantiasa mengantar kembali dengan selamat.

Pada hari-hari berikutnya pula, Tuta menjalani hari seperti biasanya. Ia menanam benih lalu memanen sayur-mayurnya bersama Ibu. Nira hanya memandang duduk dibangku dapur dengan tatapan kosong.

Dan seperti biasanya Adipani masih meminjam gerobak kepada keluarga Tuta. Mengingat ia belum mampu untuk membeli gerobak baru.

Padahal Wardana menemukan gerobak Adipani yang jatuh ke sungai lalu terhanyut begitu saja. Untung saja Rumangsih belum mengetahuinya, jadi aman-aman saja untuk digunakan.

Tuta pun telah mengatakan kepada Ibunya jika Nira pernah berbicara semasih roh itu memasuki dirinya. Ia bilang itu merupakan rahasia yang harus disembunyikan dari Ibu. Ibu mengatakan jika yang di ucapkan oleh Nira merupakan pembicaraan roh saja.

Ibu juga jujur, jika sebenarnya Nira sudah tidak seperti Nira sebelumnya. Dia kini berbeda, raganya masih ada disana, namun jiwanya seakan hilang tersesat di alam bawah sadar karena pengaruh roh yang pernah memasuki dirinya.

Dukun pun sudah tidak lagi dapat membantu, mereka hanya berpikir jika pertolongannya hanya sampai disitu saja dan tidak lebih.

Tentunya sang dukun pun masih belum melupakan penumbalan yang gagal kepada Rumangsih. Ia akan selalu ingat bagaimana rupa cantik Rumangsih yang sungguh membuat mereka bertambah marah.

Dua bulan berikutnya dilalui begitu saja seperti hari-hari biasa tanpa peristiwa. Penumbalan pun masih belum mendapatkan korbannya yang baru. Purnama sering muncul, namun kulit Tuta masih belum berubah warna menjadi hitam lumpur. Hanya ketika purnama tiba, tubuh Tuta akan bersinar indah bagai permata.

Daryan, Sugeng, Rokhaya, Rasepna, dan warga yang lain menjalani hari-hari yang indah tanpa peristiwa apapun lagi. Merasa jika kali ini keberkahan telah mereka dapatkan.
Semoga akan terus seperti ini.

Hingga 2 bulan berikutnya.



Tuta dan Ibu tengah memandang Nira yang masih beristirahat karena demam. Pagi ini cuaca nampak teduh. Dan hawa dingin menyelimuti kesekitar.

Ibu pamit duluan untuk segera memasak sayur, sementara Tuta senantiasa menjaga Nira. Meskipun kini Nira sudah berbeda 80%.

"Meskipun kini berbeda. Kamu masih tetap menjadi kakakku yang baik. Semoga tidurmu nyenyak tanpa harus bermimpi buruk."

Tanpa harus bermimpi buruk, tidak seperti dirinya yang lalu sering bermimpi buruk tentang kengerian dan darah. Jika itu pertanda dari akhir hidupnya, ia berharap selanjutnya tidak akan ada lagi ritual-ritual penumbalan yang banyak mengakhiri hidup seseorang dengan sangat keji.

Jika dirinya tertangkap oleh para dukun karena melihat kondisi buruk pada dirinya yang terkena kutukan. Yang ia inginkan pula agar Ibu dan Kakaknya tidak ada yang boleh menyakitinya lagi. Apalagi dirinya sudah mati dimakan roh hutan raksasa itu, seperti dua orang sahabatnya.


Sementara diluar rumah Tuta, datang Adipani dan yang lainnya. Mereka hari ini memiliki sebuah janji yang sama. Berkunjung ke tempat dimana Tuta dan Adipani kunjungi.

Sebuah pasar swalayan yang tengah mengadakan promosi harga murah besar-besaran akan digelar pagi ini hingga sore hari. Tentunya Tuta dan lainnya akan sangat antusias melihat hal itu, meskipun nanti hanya melihat-lihat saja tanpa berbelanja.

Ibu memanggil Tuta yang harus keluar menemui Adipani dari dapur, Ibu dengar jika Adipani mengetuk pintu sembari mengatakan permisi.
"Baik, Bu." Sahut Tuta.

Tuta beranjak dari kamar Nira menuju luar rumah. Dimana terdapat Adipani, Sugeng, Daryan, Rokhaya dan Rasepna.

Nampaknya Adipani mulai menyatu kembali dengan mereka semua, setelah sekian lamanya hubungan mereka menjaga jarak.

Tuta membuka pintu, dan melihat para sahabatnya tengah menyambutnya. Ia tahu, hanya dirinya yang masih belum bersiap untuk pergi bersama menikmati masa-masa indah pada hari ini. Dan mungkin akan menjadi kenangannya untuk masa depan, walaupun masih merasa kekurangan dengan tidak adanya Widarih dan Rumangsih.

"Tuta, kau belum siap?" Tanya Adipani.

Tuta tersenyum malu karena ia tidak sadar jika hari ini merupakan janjinya.

"Lihat Adipani sudah tampan seperti ini, permaisurinya masih belum rapih." Ujar Daryan membuat sebagian sahabatnya tertawa kecil.

"Tunggu sebentar ya, aku akan rapih-rapih dahulu." Ucap Tuta yang di setujui oleh mereka semua.

Tuta kembali masuk kerumahnya, ia menuju kamarnya untuk segera mengganti pakaiannya.

"Semoga kita semua tidak saling melupakan satu sama lain." Lirihnya.

Kelimut (Revisi) END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang