16

2 1 0
                                    

"Kamu bisa ke toko sekarang? Saya butuh bantuan kamu," ucap seseorang dari seberang telepon.

"Bisa, Bu. Saya ke sana sekarang."

Sambungan telepon terputus. Kaisha segera bersiap-siap untuk memenuhi panggilan Bu Santi. Memang hari ini bukan hari dirinya bekerja, namun apa boleh buat, sepertinya wanita paruh baya itu membutuhkan bantuannya. Lagipula ia tidak ada rencana kegiatan hari ini.

Bel berbunyi ketika pintu kaca dibukanya. Toko terlihat ramai, Bu Santi masih sibuk melayani seorang wanita yang terlihat seumuran dengannya.

Tanpa menunggu perintah, segera saja Kaisha meletakkan tas yang dibawanya di atas meja kasir dan segera menghampiri salah seorang pelanggan yang terlihat kebingungan memandang deretan bunga di depannya.

"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya kepada gadis berjilbab itu.

"Ah, saya ingin membeli bunga warna kuning. Kira-kira bunga apa yang bagus ya, Mbak?"

"Saya menyarankan bunga matahari ini," ucap Kaisha sembari menunjuk beberapa tangkai bunga matahari di sebelah kirinya.

"Tapi kalau mbaknya lebih suka bunga yang lebih kecil, saya menyarankan bunga mawar ini." Tangannya menunjuk pada bunga mawar di depan pelanggan itu.

Pelanggan berbaju putih itu tampak berpikir, melihat kedua bunga yang disarankan oleh Kaisha secara bergantian. "Ada pilihan lain nggak, Mbak?" tanyanya.

"Mohon ditunggu sebentar, saya ambilkan dulu." Kaisha berjalan ke bagian belakang toko mengambil seikat bunga dan kembali lagi.

"Ini bunga krisan. Bentuknya mirip seperti bunga matahari namun lebih kecil."

"Wah bagus banget. Saya ambil yang ini aja, Mbak." Pelanggan itu mengambil bunga krisan berwarna kuning yang dibawa Kaisha.

"Baik, ada yang bisa dibantu lagi?"

"Nggak ada, Mbak. Saya beli ini aja."

Dengan senang hati, Kaisha mengantar pelanggan muda itu ke kasir untuk membayar bunga yang dibelinya.

Rupanya pelanggan hari ini melonjak drastis daripada hari biasa. Biasanya Bu Santi bisa menjaga toko seorang diri, namun ketika pelanggan terlalu banyak, ia butuh bantuan Kaisha untuk melayani pelaggan.

Setelah selesai mengurus pembayaran, Kaisha menghampiri seorang pelanggan yang terlihat lebih muda dari dirinya. Pelanggan itu adalah seorang gadis berambut panjang dengan bando di kepalanya. Tingginya tidak lebih dari pundak Kaisha. Ia menebak bahwa gadis itu masih sangat belia.

"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Kaisha masih dengan senyumnya.

"Kak, aku pengen beli bunga yang cantik. Tapi bunga di sini cantik semua, aku jadi bingung," jelas gadis yang mengenakan setelan overall itu.

"Memangnya kamu mau bunga warna apa?" tanya Kaisha.

"Aku suka warna putih."

"Kalo gitu pasti kamu suka bunga ini, sebentar ya."

Kaisha mengambil satu buket bunga di dekat meja kasir dan kembali menemui gadis itu. "Bunga ini bernama baby's breath."

Gadis kecil itu melebarkan matanya, tampak terpukau melihat bunga-bunga kecil yang dibawa Kaisha.

"Ada lagi, Kak?" tanya gadis itu kemudian.

Kaisha berpikir sejenak, kemudian ia melihat satu jenis bunga tidak jauh darinya. Ia mengambil bunga itu dan menunjukkannya kepada gadis kecil itu.

"Ini namanya bunga aster, biasanya lebih dikenal dengan nama daisy."

"Wah bagus banget bunganya. Aku jadi pengen dua-duanya, tapi aku cuma punya uang segini, Kak." Gadis itu menunjukkan satu lembar uang berwarna biru.

Kaisha tersenyum. "Uang segitu udah lebih dari cukup buat beli dua jenis bunga ini," jelasnya.

"Beneran, Kak? Kalo gitu aku beli dua-duanya!" ucap gadis itu senang.

Tanpa Kaisha sadari, ia sudah diperhatikan oleh seseorang yang memasuki toko beberapa menit yang lalu. Orang itu adalah Devan. Ia diam-diam memerhatikan gadis itu melayani gadis kecil itu.

Suara getar dari meja kasir di sebelah pemuda itu mengalihkan pandangannya. Tas putih tampak tergeletak di atas meja, tertutup oleh sebuah sekat kayu yang terdapat di meja. Ia melihat bagian dalam tas itu dan melihat sebuah ponsel yang menyala. Awalnya Devan berniat membiarkan ponsel itu, namun pesan yang tertera pada layar ponsel itu menarik minatnya untuk melihat. Rupanya sang empu tidak menyadarinya dan masih sibuk melayani pelanggan.

Godaan setan entah dari mana membuat Devan mengambil ponsel hitam itu dan membaca notifikasi pesan yang masih ada di layar kunci. Pesan itu dapat terbaca oleh pemuda berjaket putih itu walau hanya sebagian.

Ini akibatnya kalo lo masih deketin Devan...

Begitulah bunyi pesan itu. Devan mengerutkan dahi setelah melihat namanya ada dalam pesan. Ia ingin membuka pesan itu namun ponsel Kaisha terkunci dan ia tidak tahu kuncinya. Akhirnya ia meletakkan kembali dengan rasa penasaran yang besar.

Ia berjalan memasuki rumah sembari mengacak rambutnya. Matanya melihat Kaisha, gadis itu masih dengan senyum ramahnya kepada seorang pemuda yang tampak kebingungan memilih bunga. Tidak lama setelah Devan melihat Kaisha, ia menutup pintu rumahnya dan berjalan memasuki kamarnya untuk beristirahat.

....

Tersangka:
1. Orang yang kenal gue
2. Orang yang benci gue
3. Orang yang tahu tentang gue

"Aarghhh..... Siapa sih sebenernya?!"

Linda mengacak rambutnya frustasi. Setelah Raka pulang dari rumahnya, ia segera memasuki kamarnya dan membuka sebuah buku yang tergeletak di atas meja belajarnya. Entah buku apa itu ia tidak peduli. Ia menulis kriteria tersangka yang berpeluang besar mengirim pesan bersifat adu domba itu di bagian belakang buku.

"Orang yang kenal gue banyak banget, ini terlalu luas. Gue nggak bisa nebak siapa pelakunya." Ia mencoret nomor satu menggunakan bolpoin.

"Orang yang benci sama gue... kayaknya gue nggak pernah musuhin orang deh, atau gue nggak sadar? Terus orang yang tahu tentang gue kayaknya cuma Kaisha sama Raka."

Ia mengetuk-ngetukkan bolpoinnya di atas meja seraya berpikir keras. Tidak mungkin jika Kaisha pelakunya, ia yakin itu. Kaisha adalah orang yang baik dan mereka tidak pernah bertengkar. Sudah jelas bahwa pesan itu bertujuan agar ia membenci Kaisha.

"Kalo Raka kayaknya nggak mungkin, soalnya dia nggak kenal sama Kaisha. Gue juga nggak yakin dia punya alesan buat ngelakuin hal itu," gumamnya.

Pesan-pesan itu jelas-jelas menyinggung mengenai dance. Seketika ia mendapat pencerahan entah dari mana mengenai tersangka. Ia menjadi yakin karena sangat masuk akal sekali si pelaku melakukan perbuatan itu.

"Pasti pelakunya anak cheers. Mereka kan nggak suka sama anak dance. Pasti mereka pengen bikin anak dance saling benci. Licik banget sih mereka. Gue nggak nyangka mereka bisa selicik itu."

Dilihat dari sejarah buruk antara klub cheerleaders dan klub dance, sudah jelas mereka berpotensi tinggi menjadi pelaku.

Hanya ada satu nama yang terlintas di kepalanya sebagai tersangka dan orang itu yang berpeluang besar sebagai pelaku dari pesan-pesan yang diterimanya.

Ia menatap lurus ke depan dengan tatapan marah. Tangannya menggenggam bolpoin erat.

"Cantika. Pasti dia pelakunya."

Halo semua^^
Gimana sama bab ini?
Semoga kalian suka ya^^
Jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya^^
Terima kasih🙏

KEEP ON DANCINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang