"Lo! Lo yang selama ini suka neror kan?!"
Entah dari mana Linda datang, ia langsung menghampiri gadis yang tengah makan bakso di kantin. Telunjuk Linda berada tepat di depan mata gadis itu yang tampak terkejut dengan kedatangannya yang tersulut emosi.
"Apa maksud lo?"
"Nggak usah pura-pura nggak tahu lo! Lo yang selama ini ngirim chat teror ke gue buat adu domba gue sama Kaisha kan? Lo pengen anak dance bubar kan? Gue tau niat busuk lo!"
Gadis berambut panjang itu meletakkan garpunya dan berdiri. Tangannya dilipat di dada dan dahinya mengerut. "Lo ada masalah apa sih sama gue? Teror apa yang lo maksud? Gue nggak tahu apa-apa soal teror yang lo tuduhin! Udah gila ya lo dateng-dateng main tuduh orang sembarangan!"
"Gue nggak sembarangan! Nih lo liat!" Linda menunjukkan chat teror yang didapatnya.
"Ini pasti lo kan?! Ngaku lo!"
Cantika menangkis ponsel Linda dari hadapannya. "Asal lo tahu ya, gue nggak ngelakuin hal konyol kayak gitu! Teror? Hah, gue terlalu sibuk buat ngelakuin itu. Itu bukan nomer gue, lo nggak punya bukti kan?"
Mereka tidak sadar bahwa telah banyak pasang mata yang melihat perdebatan mereka. Seketika kantin terasa hening, seolah mereka adalah tontonan menarik bagi warga sekolah yang tengah menghabiskan waktu mereka di kantin. Tidak hanya siswa, bahkan bibi penjual cilok pun ikut memerhatikan aksi mereka.
Berhubung para guru sedang rapat, jadi tidak ada guru yang berseliweran di kantin. Entah mereka beruntung atau tidak, tidak ada yang melerai mereka. Semua orang hanya menonton karena tidak berani untuk melerai.
"Gue tahu lo pasti pake nomer lain. Bukti? Emang motif yang tadi gue sebutin kurang kuat buat bikin lo ngaku? Oh iya, mana ada sih maling yang mau ngaku. Semuanya udah jelas kali, lo yang teror gue!"
"Di jaman sekarang semua harus pake bukti, bukti yang bisa dilihat pake mata kepala, bukan mata kaki!" Kini amarah Cantika mulai membara.
"Dengan omongan lo tadi nggak cukup buat gue dipenjara! Iya kalo emang gue pelakunya, tapi nyatanya gue nggak ngelakuin itu. Oh, atau ini cuma omong kosong lo doang buat jatuhin harga diri gue sebagai ketua cheers?" lanjut gadis itu.
Linda berdecak kesal. Ia tidak punya senjata lagi untuk melawan nenek lampir di depannya yang tampak tersenyum miring. Ia tidak ingin kalah. Ia menarik napas dan mengembuskannya.
"Lo mau bukti? Ok, gue bakal tunjukin ke lo! Tapi nggak sekarang. Tunggu aja nanti."
Kini Linda berbalik dan berjalan menjauhi Cantika yang sedang menatapnya marah. "Dasar pengecut!"
Langkah kaki Linda berhenti dan berbalik arah menuju meja tempat Cantika berdiri. Matanya seolah terbakar api amarah menatap gadis bertubuh langsing itu. Sesampainya di hadapan gadis itu, tangannya dengan kencang mencium pipi tirus Cantika hingga meninggalkan jejak kemerahan di sana. Gadis berambut panjang itu memegang pipi mulusnya. Ia meringis kesakitan.
"Jangan pernah ngehina gue atau lo bakal ngerasain akibatnya," ujar Linda pelan namun dapat membuat gadis di hadapannya bergetar. Dari tatapannya ia sudah sangat marah.
"Sudah sudah! Jangan berantem di kantin. Ini tempat orang makan, Mbak." Tiba-tiba Pak Darso, petugas kebersihan sekolah melerai mereka. Kebetulan ia sedang berjalan menuju ke taman namun ia melihat ada keributan di kantin.
"Lebih baik kalian kembali ke kelas masing-masing, bel masuk sudah mau berbunyi."
"Maaf, Pak. Saya balik ke kelas dulu," ujar Linda kepada Pak Darso kemudian berjalan kembali ke kelasnya.
"Aduh, Mbak, itu pipinya merah. Apa perlu saya antar ke UKS untuk diobati?" tawar pria tua itu.
"Nggak usah, Pak. Ini nggak sakit kok." Cantika segera pergi dari tempatnya berdiri, masih memegangi pipinya yang terasa panas.
....
Linda duduk di bangkunya dengan wajah yang masih memerah. Ia berusaha menormalkan napasnya dan detak jantungnya. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Hal itu dilakukannya tiga kali.
Kaisha yang sudah duduk di sampingnya merasa heran dengan kedatangan teman sebangkunya itu.
"Kanu kenapa?" tanya gadis itu dengan penuh tanda tanya.
"Akhir-akhir ini aku diteror sama seseorang, Sha," jelas Linda terus terang.
Kaisha melebarkan matanya, ia terkejut. Rupanya teman sebangkunya itu juga mengalami hal yang sama dengannya. Ia semakin penasaran dan bertanya lagi.
"Diteror? Sama siapa?"
"Awalnya aku nggak tahu, soalnya orang itu pake nomer yang nggak aku simpen. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi aku yakin pasti orang itu Cantika."
Kaisha lebih terkejut lagi mendengar nama Cantika keluar dari mulut Linda. Ia mengerutkan dahinya, apa alasan gadis itu meneror Linda? Apakah Cantika juga yang mengirimkan pesan teror padanya selama ini? Ia tidak yakin, sudah jelas-jelas bahwa gadis itu bersikap baik padanya.
"Ini chat teror yang aku dapet." Linda menunjukkan pesan yang ada di ponselnya kepada Kaisha.
Gadis itu membaca pesan satu per satu dan tidak menyangka bahwa isi pesannya sungguh membuatnya sedih. Apakah ada yang membencinya sehingga orang itu ingin mempengaruhi temannya untuk ikut membencinya? Tetapi ia merasa tidak punya musuh. Ia selalu hati-hati bila berbicara pada orang lain agar tidak menyinggung perasaan lawan bicara. Apa ada kesalahan yang tidak ia sadari?
"Maaf. Aku nggak tahu kalo kamu pengen banget ikutan kompetisi dance di Seoul. Pasti kamu benci sama aku dan nggak pengen aku menang kompetisi di New York."
Mendengarnya, Linda langsung merasa bersalah pada Kaisha karena ia tidak menceritakan keinginannya. "Eh, aku nggak benci sama kamu kok, Sha. Aku malahan kesel sama yang ngirim chat itu, kayaknya dia pengen kita musuhan deh. Ini bukan salah kamu kok. Tenang aja, aku nggak keberatan kok kamu menang kompetisinya, aku malah mendukung banget."
"Oh iya, kamu jangan deket-deket sama Cantika. Aku yakin pasti dia orangnya. Dia pengen anak dance bubar. Aku sempet ngelabrak dia tadi di kantin. Tapi aku nggak punya cukup bukti buat menghakimi dia," lanjutnya.
"Ehm, sebenernya aku juga dapet teror kayak kamu, Lin. Tapi aku nggak berani buat cerita ke kamu. Aku takut banget." Akhirnya Kaisha memberanikan diri untuk bercerita kepada temannya itu.
Linda terkejut, ia segera meminta untuk diperlihatkan pesan yang didapat temannya itu. Kaisha memperlihatkan pesan yang ada di ponselnya.
"Jadi dia ngancem kamu nggak bisa ikut kompetisi kalo kamu deket sama Devan?" Kaisha mengangguk.
"Fix pelakunya cewek. Aku tambah yakin pasti si nenek lampir itu."
"Terus kita harus gimana?" tanya Kaisha.
"Kita harus ngumpulin bukti yang kuat."
Halo semua^^
Gimana sama bab ini?
Kalo suka jangan lupa vote dan komen yang banyak ya^^
Terima kasih🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
KEEP ON DANCING
Teen FictionSaking cintanya terhadap tari, Kaisha rela berjuang keras untuk memenuhi perintah hatinya. Semuanya berawal dari selembar tiket yang belum tentu dapat membuatnya bahagia. #4 menari (25 Juli 2020) #4 dancing (25 Juli 2020) #7 penari (25 Juli 2020)