18

3 1 0
                                    

Siang ini Linda ada janji bertemu dengan Raka di sebuah cafe. Sudah lima belas menit gadis itu duduk sembari menunggu temannya yang tinggi itu. Sambil menyeruput kopi pesanannya, ia mengetikkan sebuah pesan singkat kepada orang yang ditunggunya.

Dah otw belum?

Begitulah bunyi pesan yang dikirimnya. Tidak ada balasan dari seberang. Mungkin pemuda itu memang sudah berada di jalan mengendarai kuda besinya. Mustahil baginya untuk membalas pesan.

Linda yakin sebentar lagi Raka akan sampai. Untuk mengusir rasa bosan, ia membuka sosial media. Akunnya sudah memiliki banyak pengikut, foto yang diunggahnya juga telah mendapat ribuan like. Tidak heran itu terjadi karena ia memang bisa dibilang cantik dan mudah berkomunikasi dan bergaul dengan orang lain.

Pintu cafe terbuka ditandai dengan bel yang berbunyi. Masuklah seorang pemuda berjaket bomber dengan celana jeans. "Udah nunggu lama?" tanya pemuda itu.

"Udah seabad gue nungguin," jawab Linda ketus.

"Berati lo udah tua dong." Raka mulai mendapat ide untuk menjaili gadis di hadapannya itu yang tengah memanyunkan bibirnya.

"Nggak lucu." Tatapan gadis itu datar.

Mereka bertemu karena ada hal penting yang ingin Linda sampaikan kepada temannya yang satu itu. Hal penting itu tidak lain dan tidak bukan adalah teror yang selama ini mengganggu pikirannya, dan mengganggu pikiran Kaisha tentunya. Ia ingin segera menemukan siapa pelakunya dan menyelesaikan masalah ini.

"Jadi kenapa lo ngajak ketemuan? Kangen ya?" ujar Raka sembari mengangkat alisnya dua kali. Ia tak bosan menjaili Linda.

"Dih ngarep. Gue ngajak lo ketemuan soalnya ada yang pengen gue omongin," jawab Linda sedikit jutek.

Raka mengerutkan dahinya, penasaran hal apa yang ingin dikatakan gadis berbaju biru itu. Apakah akan menyatakan perasaan? Atau akan memberinya hadiah? Ia semakin bersemangat.

Linda menyeruput kopinya lagi yang tersisa setengah. Kemudian ia menarik napas sebelum bercerita. "Ada yang neror gue." Wajahnya seketika mendung.

Mendengar pernyataan gadis itu, jantung Raka tiba-tiba berdetak kencang satu kali. Apa ia tidak salah dengar? Diteror? Siapa yang berani meneror gadis seperti Linda. Linda yang ia tahu adalah seorang gadis yang kuat dan tidak takut dengan orang lain. Namun mengapa ia baru bercerita sekarang kalau ia diteror?

"Kok bisa lo diteror? Siapa yang neror lo?"

Rasa penasaran dan ada sedikit kekhawatiran menyelimuti pemuda itu. Ia takut kalau teman perempuannya itu berada dalam bahaya. Ia tahu kalau Linda tinggal sendirian di rumah dan hal itu membuatnya semakin khawatir. Linda dapat melihat itu dari mata Raka.

"Ehm bukan diteror yang serem-serem gitu sih, cuma ada yang ngechat gue beberapa kali dan isi chatnya tuh kayak sengaja buat ngadu domba gue sama temen gue, Kaisha," jelas gadis itu berusaha menetralkan suasana.

"Pelakunya nggak ngancem yang aneh-aneh gitu sih tapi tetep aja ganggu banget. Apalagi gue sama Kaisha udah deket banget," lanjutnya.

"Kaisha?" tanya Raka mengerutkan dahi, ia merasa pernah mendengar nama itu.

"Iya Kaisha, kenapa?"

Beberapa saat kemudian Raka mengingat nama Kaisha. "Kaisha yang pernah lo ceritain itu? Yang lagi deket sama Devan?"

"Iya." Linda meminum kopinya lagi sampai habis.

"Kemarin Devan minta tolong sama gue buat nyariin nomer telfon orang. Katanya dia penasaran siapa orang yang punya nomer telfon itu soalnya dia nggak sengaja baca nama dia di HP Kaisha pas ada chat masuk dari nomer itu."

"Eh beneran?" Linda melebarkan matanya.

"Tapi boong. Ya beneran lah. Kapan gue bohong sama lo." Dilihat dari raut wajah Raka, Linda tidak merasakan bahwa pemuda itu membohonginya. Ia juga percaya dengan kawan laki-lakinya itu.

"Terus, lo udah dapet siapa yang punya nomer?"

"Sebelum gue lanjut cerita, gue mau pesen kopi dulu." Pemuda itu beranjak dari kursinya untuk memesan secangkir kopi karena tenggorokannya sudah merasa dahaga.

Mau tidak mau Linda harus menunggu sebentar dengan rasa penasarannya yang tinggi untuk mengetahui siapa orang yang mengirim pesan tidak mengenakkan itu.

Tidak lama kemudian pemuda yang ditunggunya kembali seusai memesan. Ia tidak sabar mengetahui siapa pelakunya. Apakah benar dugaannya selama ini atau bukan? Apa pelakunya orang lain yang tidak ia ketahui?

"Buruan kasih tahu siapa orangnya," desaknya.

Raka duduk di kursinya semula namun tidak membuka mulutnya. Ia berniat menjaili gadis itu lagi dengan membuatnya semakin penasaran. Ia hanya tersenyum jail melihat tingkah Linda yang tampak seperti anak kecil. Lucu, batinnya.

"Cepetan kasih tahu...."

Sesaat sebelum Raka ingin tertawa, seorang waiters datang membawa kopi pesanannya. Akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk menertawai Linda. Setelah waiters pergi dari meja yang mereka tempati, Linda kembali merengek meminta Raka memberitahu siapa pelaku yang sebenarnya.

Karena tidak tega melihatnya, Raka akhirnya memberitahu siapa orangnya. "Kata temen gue yang pinter otak-atik PC sih namanya Cantika."

"Seriusan?! Nomernya ini bukan?"

Linda menunjukkan pesan yang didapatnya. Ponsel berwarna hitam itu disodorkannya tepat di depan muka pemuda itu. Raka mengambil ponsel itu dari tangan si empunya kemudian membaca pesan-pesan yang dikirimkan nomor tidak dikenal itu satu per satu.

"Gue lupa nomernya sih, tapi gue nggak yakin ini nomernya." Ia meletakkan ponsel Linda di atas meja.

Linda mengetukkan telunjuknya di dagu dan melihat keluar jendela. Ia berpikir. "Mungkin aja dia punya banyak nomer terus pake nomer yang beda."

"Bener dugaan gue si nenek lampir itu pelakunya. Jadi dia suka sama Devan sampe neror Kaisha?" lanjutnya.

Raka mengerutkan dahinya. "Lo kenal sama si Cantika itu?"

"Yaudah langsung aja laporin ke polisi biar kapok." Ia meminum kopinya.

Linda menoyor dahi teman laki-lakinya itu. Raka mengusap dahinya dengan tangan sabil menatap Linda dengan tatapan seperti mengatakan 'sakit tahu'. Gadis dengan kalung emas bentuk bintang itu hanya tertawa kecil.

Tidak butuh waktu lama untuk mengubah ekspresinya, ia seketika berpikir lagi. "Nggak semudah itu, asumsi kita sendiri belum cukup kuat soalnya. Gue juga nggak setega itu buat laporin dia ke polisi. Kasihan, mana masih muda lagi."

Raka terlihat heran dengan perkataan gadis di hadapannya itu, tidak seperti biasanya. Padahal jika Linda marah dengan orang, maka dia tidak segan-segan meremukkan tulang orang itu dengan tangannya.

"Terus lo mau ngapain?" ucap Raka.

"Lo udah bilang ke Devan kalo pelakunya Cantika?" tanya Linda penasaran.

Raka menganggukkan kepalanya sembari menghabiskan kopinya yang tinggal seperempat cangkir kemudian menyenderkan badannya ke kursi. Linda tampak memicingkan matanya, seperti ingin tahu sesuatu hal. Tangannya mengusap-usap dagunya.

"Gue penasaran apa yang bakal dia lakuin ke cewek itu," ujar gadis itu.

"Maksud lo Cantika?" tanya Raka, Linda mengangguk.

Halo semua^^
Gimana bab ini?
Apa kalian suka?
Kalo kalian suka jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya ya^^
Terima kasih🙏

KEEP ON DANCINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang