BAB 01 : PENGANTIN PENYIHIR

467 69 37
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


07 Juli 2021.

Republik Korea Selatan.

“Selamat ulang tahun.”

Jam besar berdentang memekakkan rungu disusul suara peringatan alarm pada ponsel, memberi tanda jika waktu telah berganti menjadi tengah malam. Bersamaan dengan bunyinya yang mengalun, hujan badai langsung menggempur kota Seoul secara beringas di luar rumah. Pohon-pohon terombang-ambing, beberapa bangunan ambruk dan tak terbentuk. Alam seolah tengah menghukum, bencana datang dengan beruntun. Tak sampai di sana, petir berkilat-kilat menyambar, suaranya terdengar sangat menyeramkan.

Kegelapan seketika menyelimuti malam.

Di tengah kemurkaan alam di luar sana, sebuah kaki berlapis sendal rumahan menuruni anak tangga dengan gerakan cepat, terkesan tergesa-gesa. Seolah-olah sedang dikejar hutang, tubuh mungil yang memakai piyama berwarna hitam itu melesat menuju ruang keluarga. Saat iris cokelat miliknya memandang sekumpulan kado dengan balon warna-warni yang berserakan di lantai, senyum manis dari bibir merahnya terbingkai secara indah.

Tangan putih bersih dengan bersemangat membongkar semua kado yang bertumpuk, maniknya meliar mencari sesuatu dengan tak sabar. Ketika surat bersampul pita emas terlihat pada retina mata, senyum bercampur kelegaan terpampang jelas pada raut wajah. Surai cokelat keemasannya lekas meliuk saat ia memutuskan untuk berlari menuju sofa lalu duduk manis di sana.

Dengan segenap jiwa dan raga, ia mulai membuka surat dengan angka 18 itu secara perlahan.

“Halo puteriku, Park Jiyeon. Bagaimana kabarmu, Sayang? Bukankah waktu berlalu begitu cepat, Ibu tak menyangka jika kau tumbuh semakin besar. Coba Ibu tebak, setelah berumur 18 tahun kau pasti semakin mirip dengan Ayahmu. Mata yang cokelat, hidung yang mancung, dan jangan lupakan senyuman manismu yang memikat. Ibu tak salah ‘kan?”

Bibir manis gadis bernama Park Jiyeon segera mengerucut, merasa tidak terima dan menjadi sebal saat melihat kejujuran sang Ibu di dalam surat. “Aku tidak mirip Ayah. Aku mirip Ibu!” protesnya kembali memfokuskan diri untuk membaca.

“Bagaimana keadaan, Ayahmu? Apa dia masih pelupa? Jangan bilang jika kebiasaan lamanya belum hilang. Apa kau pikir Ibu akan lupa dengan kebiasaan buruknya itu? Tidak puteriku, kau keliru. Kebiasaan mana yang paling membuatmu kesal? Tidur dengan kaus kaki? Minum susu di malam hari? Oh tuhan, suka memberi ceramah gratis. Ck, sebenarnya itu juga sangat membuat Ibu kesal. Tapi puteriku, walau pun Ayahmu seperti itu, Ibu harap kau akan selalu bersamanya. Jangan pernah meninggalkannya.”

Raut wajah mungil Jiyeon berubah suram, senyum yang tadi ditahan perlahan luntur.

“Tapi Ibu sudah meninggalkannya,” bisiknya dengan suara teramat lirih.

“Mengingat umurmu sudah memasuki masa remaja, berarti puteriku sudah dewasa. Maka dari itu, Ibu akan menceritakan sebuah rahasia besar kepadamu. Rahasia yang akan menjadi tanggung jawabmu. Segala hal yang ibu ceritakan nanti akan membawamu pada dunia yang tak pernah kau sadari ada.”

WizardryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang