Park Jiyeon memasuki rumah besarnya dengan tubuh lemas. Pemandangan para pelayan yang sibuk menghidangkan makan malam pada ruang makan adalah hal yang pertama kali dilihatnya saat hendak menaiki anak tangga, di mana kamarnya berada. Tak terasa, jika siang telah berganti malam. Terlalu fokus pada masalah Karina, ia jadi lupa dengan waktu.
“Nona muda, akhirnya anda pulang.”
Seorang wanita paruh baya yang sering Jiyeon panggil dengan sebutan bibi Jung menghampiri dengan terburu-buru. Terlihat jelas raut khawatir tercetak pada wajahnya. Jujur saja, ini pertama kali bagi Jiyeon pulang di jam 7 malam. Apa lagi sopir yang menjemput tadi tidak berhasil menemukannya di sekolah. Seluruh orang di rumah jadi kalang kabut mencarinya. Untung saja tadi Jiyeon sempat menghubungi, mengatakan jika ia tengah bersama Seulgi.
“Maaf bibi, aku sungguh lupa memberitahu kalian jika aku ada keperluan.”
Jiyeon tersenyum tak enak. Jujur saja, para pelayan yang bekerja di rumahnya sudah Jiyeon anggap sebagai keluarga. Dari kecil mereka selalu bersamanya, menjaganya dan membesarkan Jiyeon hingga tumbuh cantik seperti sekarang.
“Tidak apa-apa.” Tangan hangat bibi Jung mengelus bahu Jiyeon dengan sayang. “Sebaiknya Nona membersihkan diri dulu. Baru setelahnya turun untuk makan malam. Anda pasti kelaparan.” Jiyeon mengangguk manis. Kemudian kakinya melanjutkan langkah untuk menaiki anak tangga. Segera masuk pada pintu berwarna hitam yang terdapat tulisan namanya.
“Hah ...”
Jiyeon meletakkan tas pada meja belajar. Bokongnya duduk sejenak di sana untuk beristirahat. Rasanya tubuh Jiyeon remuk semua, padahal yang dilakukan bukan pekerjaan berat. Terlahir dari keluarga kaya memang membuatnya jadi gadis manja. Ia bahkan tidak pernah menginjakkan kaki ke dapur jika tidak dalam keadaan terdesak. Misalnya, sudah kebelet haus. Ayahnya sangat menyayanginya, menempatkan beberapa pelayan di rumah untuk melayaninya. Mungkin karena puteri tunggal dan satu-satunya keluarga yang dipunya, membuat Ayahnya sangat posesif kepadanya.
“Baru satu hari, tapi rasanya sudah sangat melelahkan. Bagaimana jika selamanya?”
Jiyeon menatap telapak tangan kanannya dengan helaan napas berat. Wajahnya sedikit cemberut, lantaran mengingat jika masa tenangnya akan berubah runyam mulai sekarang. Sepertinya masalah akan datang silih berganti untuk menyapanya. Apalagi jika ia memiliki darah suci. Pasti banyak musuh Jungkook akan mengejarnya.
Mengenai Jungkook, pipi Jiyeon tiba-tiba memerah. Bibir bawahnya digigit dengan gemas saat memorinya tak sengaja mengingat pertemuan pertama mereka. Wajah tampan dan mempesona Raja itu tak bisa Jiyeon lupakan begitu saja. Apalagi kata-kata manis yang beberapa kali diberikan padanya.
“Lakukan saja sesuka hatimu. Aku senang saat kau menyebut namaku. Dan aku ketagihan dengan sentuhanmu.”
Jiyeon menjerit tertahan. Suara Jungkook terngiang-ngiang di dalam kepala. Astaga, kenapa ia harus berlebihan seperti ini, seolah baru saja dimabuk asmara. Padahal sebelumnya banyak pria di sekolahnya juga melakukan hal yang sama, tapi kenapa Jiyeon tidak bereaksi sama sekali. Berbeda dengan Jungkook, ia bahkan tak bisa berpikir dengan jernih jika berada di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wizardry
FantasyCover : @GENIUS_LAB Garis kehidupan yang dijalani Park Jiyeon tidak semudah yang kalian bayangkan. Kalian pikir, menjadi primadona sekolah mampu menaklukkan dunia? Ck, rasanya ia ingin tertawa terbahak-bahak. Kalian pikir, menjadi puteri pejabat ne...