✍🏻 Chapter Tujuh Belas

1.3K 185 58
                                    

✍🏻 Selamat Membaca.




Atmosfir dalam ruangan tempatnya terbaring tampak suram meski ruangan itu dominan dengan warna putih. Apalagi ada tatapan yang tak ingin ia lihat saat ini. Sayangnya, ia adalah pusat dari seluruh atensi lelaki yang merupakan sepupunya itu.

Pun Minho telah duduk di dekatnya, tapi tetap membiarkan Felix berbaring. Minho menghela nafas berat. Benang merah yang menghubungkan ia dengan sepupunya menjadi sangat rumit sekarang.

Namun, semua kekacauan yang ada harus di uraikan perlahan. Jadi meski terasa berat, Minho memulainya dengan menggenggam tangan adik sepupunya yang sedang tak menatap kearahnya.

"Fel, kakak mau bicarakan tentang anak didalam kandunganmu. Kamu mau, kan?" Suara Minho terdengar begitu tenang, begitu asing sebab terasa lebih lembut dan santun.

"Kakak gak perlu khawatir, Seungmin hanya berbohong pada kakak. Ini bukan anak kakak." Elaknya tanpa mencoba menatap mata elang milik sang kakak.

"Coba tatap kakak, Fel. Kalau memang dia bukan anak kakak, lalu anak siapa? Benar-benar anak, Changbin?" Felix hanya mengangguk masih tanpa menoleh sedikitpun. Masih terlalu takut jika pertahanannya runtuh saat menatap wajah Minho.

"Kakak.."

"Lebih baik kakak pulang, nanti pacar kakak khawatir. Masih ada Seungmin disini." Potong Felix saat Minho mencoba berbicara lagi padanya.

"Mana bisa. Kakak gak bisa ninggalin kamu dalam kondisi kayak gini. Kakak hanya akan merasa jadi kakak yang gak berguna." Felix beralih menatap ke arah Minho.

"Felix bukan anak kecil lagi kak, kakak gak perlu berlebihan.." ucapan Felix terhenti sebab ada kecup menenangkan di dahinya. Pun Minho memeluknya yang masih terbaring. Mengarahkan kepala yang lebih muda untuk ia dekap.

"Kakak tau Felix kuat. Tapi, sekuat apapun itu, kakak yang bertanggung jawab atas kamu, Fel. Orang tua kamu telah menitipkan kamu pada keluarga kakak, dan kakak seharusnya menjaga kamu."

"Tapi kakak gagal. Gagal membuatmu bahagia, dan justru mendatangkan sakit untukmu. Jangan bohong lagi, jujur pada kakak siapa ayah dari anakmu." Felix yang sejak tadi menangis kini mencengkram baju seragam yang Minho kenakan. Terisak begitu menyakitkan di telinganya.

"Kita salah kak, anak kita juga seharusnya gak ada. Felix gak mau ngebebanin kakak dengan anak ini. Malam itu kakak hanya tak sadar sebab terlalu frustasi. Kakak hanya.." Felix diam, tak berani bergerak barang sedikitpun. Kuncian pada bibirnya membungkam seluruh kata yang hendak keluar. Apalagi ia melihat buliran yang turut mengalir dari sudut netra Minho.

Sesak yang ia rasakan sebab lekat oleh labium sang kakak sepupu berupa ciuman sarat kata bersalah. Tapi siapa Felix yang hendak menolak seluruh afeksi yang diterima dengan baik oleh seluruh inderanya. Labiumnya menginginkan ini, ciuman yang sempat ia rasa kala dirinya dititipkan buah hasil hubungan frustasi sang kakak.

Minho tau, ia mengirimkan sinyal berupa ciuman yang penuh rasa bersalah. Berharap lawan aduan bibirnya tak mengerti maksud sesungguhnya.

Sayangnya Felix mengerti. Ia tau dan karena itu ia semakin memperdalam ciuman mereka. Menarik tengkuk Minho seolah tak ingin memberi ruang sedikitpun. Pun Minho tak akan menolaknya, ia berusaha mengatakan apa yang ia rasa lewat aduan mereka.

Hingga merasa semua yang ingin mereka sampaikan telah disampaikan, keduanya mengakhiri ciuman itu. Dan barulah Felix membalas pelukan Minho yang memang kembali memeluknya.

"Kakak akan bilang masalah ini ke keluarga kita. Dan kakak siap bertanggung jawab untuk kamu dan anak kita." Felix melonggarkan peluknya, menatap tak percaya pada Minho dan ucapannya.

EXCHANGE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang