17. Dunia Es Krim

55 13 9
                                    

Fila berkunjung ke rumah Rafa. Selain untuk menjenguk sahabatnya itu, juga karena ia mendapat panggilan dari Devi untuk mengambil oleh-oleh olahan pisang. Katanya, saat Rafa akan pulang dari luar kota, ibunya sengaja menyuruh membeli banyak agar bisa diberikan sebagian pada Fila. Bukan hal baru bagi Fila. Gadis itu pun kerap melakukan hal yang sama. Membawa masakan atau kue buatan ibunya ke rumah Rafa.

"Kamu gimana? Udah baikan kan?" tanya Fila saat duduk berdua di ruang tamu.

"Udah. Kan kamu udah datang," goda Rafa.

"Hem, cemen. Semalem manja-manjaan mulu ama ibu. Aku juga disuruh-suruh ambilin ini-itu. Mana ayah ngebelain dia lagi." Tiba-tiba Devi-sang kakak keluar membawa dua gelas minuman dan setoples kue kacang sembunyi-kue khas Makassar yang berupa kacang tanah yang dibaluri dengan terigu dan gula pasir cair.

"Kakak yang sayang ama adeknya nggak boleh ngeluh. Ibu aja santai kok." Rafa seolah-olah mengejek sang kakak.

Fila tertawa kecil melihat Devi hendak melempar sang adik dengan nampan. Seketika rasa iri menyapa hatinya. Ia pun ingin memiliki keluarga yang harmonis seperti yang miliki sang sahabat. Keluarga yang lengkap. Sayangnya, harapan itu telah hancur. Dan karena masalah itu pula sahabatnya menjadi korban. Fila merasa bersalah.

"Kak Dev, Kanci, maaf. Ini gara-gara aku. Seharusnya -"

Devi tiba-tiba menggenggam tangan Fila. "Itu udah kewajiban dia sebagai sahabat kamu. Kamu nggak boleh merasa terbebani." Fila mendongakkan wajah. Gadis yang lebih tua darinya itu tersenyum dan mengelus pundaknya.

"Nggak usah merasa keberatan. Orang berat kamu juga cuma berapa kilo." Pukulan dari sang kakak mendarat cepat di punggung pria itu.

"Kamu tuh kebiasaan. Orang serius juga," ucap Devi kesal. "Ya udah, kakak masuk dulu ya. Mau ngasih tau ibu kalau kamu udah datang. Oia, kalau dia resek lagi tinju aja perutnya, biar lama sembuhnya." Rafa melirik jengkel pada Devi.

Sepeninggal kakaknya, Rafa menghela napas dan menyandarkan badan ke sofa. "Cerewet." Fila menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan pria itu.

"Mon, aku mau nanya sesuatu sama kamu."

"Kamu suka sama Si Yaya?" Fila mengerutkan kening. Baru kali ini ia mendengar nama itu.

"Yang kemarin bayarin utang ayah kamu."

"Kak Arya?" Fila sejenak melepas tawa. Lagi-lagi sahabatnya itu menamai orang lain sesukanya. "Dasar tukang ganti nama orang."

Fila kembali menoleh. "Dia itu udah nganggap aku adik. Aku juga nganggap dia kakak."

"Kalau ternyata dia suka kamu?"

Gadis itu tampak berpikir. "Untuk sekarang aku belum tau. Belum mikir sampai ke situ. Kak Arya baik sih tapi kadang sedikit lebay." Fila tertawa kecil, ia menerawang seolah mengingat sesuatu.

Rafa menatap gadis itu beberapa detik. "Kalau ada orang yang menyukai kamu dan berusaha berubah jadi apa yang kamu mau, kira-kira kamu mau nggak nerima dia?"

Fila menyandarkan tubuhnya. "Peluangnya besar, kalau ... dia selalu ada dan mau menerima keadaan keluargaku. Tapi mana ada yang mau menerima itu." Gadis itu menunduk, memainkan jari-jarinya. "Kamu tau kan? Sebagian orang menganggap, perceraian itu menular ke keturunan mereka. Jadi banyak orang tua yang memilih menjodohkan anak mereka dengan anak yang memiliki keluarga yang utuh."

"Mon." Rafa tak melanjutkan kalimatnya. Ia memutar sudut pandangnya beberapa derajat. Menatap gadis sendu di sampingnya.

Rafa menumpahkan sedikit minuman berwarna kuning beraroma nanas yang tadi disajikan sang kakak di meja kaca.

Life is Like An Ice CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang