"Perhatian yang sama dari orang berbeda, akankah menimbulkan getar yang sama?"
Raihan tengah memegang kelopak matanya yang tertutup dengan jari-jari kiri. Buku-buku telah tertata rapi di hadapannya. Laptop yang ia gunakan tadi pun sudah ia off-kan.
Fila menoleh sekilas sembari sibuk menata beberapa buku dan perangkat pembelajaran. Meja mereka terletak bersebelahan.
Belasan meja ditata di ruangan itu dengan model huruf U. Satu meja sedikit terpisah dari dari model itu, diletakkan di bagian lain. Tempat itu khusus untuk kepala sekolah, terutama saat akan mengadakan rapat. Semua ditutupi dengan taplak berwarna sama. Biru muda dengan sedikit sulaman bermotif bunga dan dedaunan tepat di keempat sudut pinggiran atas meja.
Tiap meja terdapat pot kecil berisi bunga plastik sebagai pemanis di sekitar tumpukan buku materi ajar. Foto presiden dan wakil presiden terpajang rapi di dinding, tepat di belakang meja kepala sekolah. Di sisi lain terdapat dena sekolah, struktur organisasi, teks pembukaan UUD, pancasila dan beberapa piagam. Di salah satu sudut ruangan, terdapat lemari besar untuk menyimpan berkas-berkas admisnistrasi sekolah, buku-buku panduan mengajar, alat-tulis menulis.
Usai jam pelajaran terakhir, ruangan itu mulai sepi. Hanya ada beberapa guru yang masih asyik mengobrol. Sementara yang lain memilih segera pulang untuk berkumpul dengan keluarga menyantap makan siang. Yang bertahan biasanya ada dua yakni guru yang bertugas sebagai musyrifah (wali asrama) atau guru dari luar kota yang memang tinggal di asrama.
"Kenapa?" tanya perempuan itu saat tengah memasukkan beberapa benda ke dalam laci ransel.
Pria itu membuka kedua kelopak mata lalu memutar kepalanya 45 derajat. Entah baru mencerna pertanyaan atau sedang memikirkan jawaban.
Fila mengulangi pertanyaannya. Beberapa pulpen dan spidol tersusun dalam sebuah wadah menyerupai mug kecil. Meja dengan taplak biru telah rapi. Ia telah siap menggantungkan ransel ke punggung.
"Kayaknya aku mau ganti pake soft lens." Raihan hampir berbisik. Mungkin tak ingin didengar oleh guru lain yang juga ada di ruangan bernuansa langit itu. "Menurut kamu?" tanyanya kemudian.
Gadis itu tersenyum. "Selama kamu cocok, tau produk dan tempat beli yang terpercaya, nggak masalah kayaknya."
"Bukan itu." Gadis berjilbab krem itu mengerutkan kedua alis hitamnya. "Aku ... cocok nggak pake soft lens?"
Fila hampir saja tertawa jika tak menyadari rekan kerja di sekitarnya. Ia menggaruk tengkuk. "Kalo pertama, mungkin agak beda. Orang-orang kan biasanya liat kamu pake kacamata. Tapi nanti juga bakalan terbiasa dengan penampilan baru kamu."
Raihan mengangguk-angguk pelan. Ia tersenyum tipis, seolah menertawakan sesuatu. Agaknya bukan jawaban itu yang ingin ia dengar.
Pria itu masih terdiam di tempat duduk. Sudut matanya mengekori kepergian gadis yang baru saja berpamitan pulang. Ia merogoh ponsel di salah satu saku celananya. Kemudian mengamati pantulan wajahnya pada layar hitam dengan cashing cokelat bercorak kayu.
Samar-samar indra pendengarannya menangkap suara gemerisik air. Ia segera mengganti sandal yang biasa ia pakai ke musalah dengan sepatu pantofel. Lalu dengan sigap bangkit, segera berpamitan pada teman sejawatnya. Menyusul Fila yang tampaknya masih belum meninggalkan tempat parkir.
"Kok belum pulang?" tanya Raihan saat berdiri di samping gadis itu. Ia mengusap lengan kemejanya yang sedikit basah.
"Hujan. Kayaknya bakal deras. Jadi, aku mau tunggu bentar."
Keduanya terdiam beberapa saat. Larut dalam pikiran masing-masing. Perkataan orang-orang di luar sana terkadang ada benarnya juga. Hujan mampu mengembalikan kenangan yang mungkin terlupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life is Like An Ice Cream
Romantik(VOTE & KOMEN SETELAH BACA YA) Nafila Insyirah, gadis penyuka es krim dan hobi menonton pertandingan sepakbola. Gadis manis ini terkenal cuek dengan kaum lelaki yang berusaha mendekatinya. Meski begitu, ia justru memiliki beberapa sahabat lelaki. Ia...