19. Sahabat Terbaik

44 12 11
                                    

Tiga pemuda yang bersahabat sejak memasuki bangku kuliah itu tengah duduk di ruang tamu rumah Rafa. Mereka duduk tak berjauhan. Rio dan sang tuan rumah duduk dalam satu sofa, sementara Fajar memilih merebahkan badan di sofa lain yang berukuran panjang. Meski begitu, mereka justru tak saling berbicara. Ketiga pria itu malah fokus dengan benda pipih di tangan.

"Kamu tega banget sih, Yo. Nggak izinin aku libur sehari dulu baru ngajak ke sini." Fajar akhirnya buka suara. Ia memalingkan wajah ke pria yang asyik dengan game di ponselnya.

Rio yang sejak tadi duduk dengan punggung membungkuk, lantas menyandarkan diri ke sofa. Melemaskan otot-ototnya yang sedikit tegang.

"Kan bisa besok," ucapnya gamer itu cuek. Jemarinya cekatan menembakkan senapan ke arah musuh dalam permainan.

"Besok aku mau main futsal," tukas Fajar.

"Itu sih pilihan kamu. Kamu sendiri yang mau main." Fajar tiba-tiba melempar bantal ke arah Rio. Namun pria itu cukup tanggap hingga membuat bantal itu terpental ke arah lain.

"Nggak usah ngeluh. Syukurin dong kesibukan kamu. Coba liat aku. Belum kerja sampe sekarang. Masih aja bantuin bapakku." Rio tersenyum miring. Seperti sedang menertawakan diri sendiri.

Dari tiga orang bersahabat itu, memang hanya Rio yang belum pernah merasakan dunia kerja. Baik bekerja di kantor seperti Fajar maupun bekerja sesuai kualifikasi ijazahnya sebagai seorang tenaga pengajar seperti Rafa. Selama ini ia menghabiskan waktu menganggurnya dengan membantu sang bapak dengan dagangan cotonya—salah satu makanan khas Makassar berupa rebusan jeroan dan daging sapi dengan bumbu khas.

"Kamu juga kurang bersyukur. Liat orang di luar sana! Mau makan coto harus ngeluarin uang buat beli sama bapakmu. Kamu malah bisa makan gratis. Belum lagi orang yang punya sakit darah tinggi, kolesterol, harus nahan ludah nggak makan coto. Kamu alhamdulillah masih sehat. Nggak punya pantangan makanan," tutur Fajar menasihati balik.

"Sok bijak sama orang. Sama diri sendiri nggak," ucap Rio tak mau kalah.

"Eh nih anak dibilangin." Fajar bangkit dari posisi tidur. "Kamu tuh. Jangan orang lain aja dinasihatin. Diri sendiri juga. Dinasihatin balik nggak terima."

Rafa mengepal erat kedua tangan, giginya pun ikut bermeretak saking gerahnya mendengar perdebatan kedua sahabatnya.

"Stop stop! Kalau kalian mau berantem, jangan di sini. Di belakang sana ada lapangan. Jarang dipake. Rumputnya tinggi-tinggi." Rafa mengarahkan telunjuk kanannya ke arah kanan. "Sampe puas kalian di sana. Gelut aja sampai rumputnya pada mati."

Fajar berdecak kesal. Ia membenarkan posisi berbaringnya di sofa, memeluk bantal dan mulai asyik lagi menggulir layar ponsel.

Rafa menghela napas melihat kedua sahabat di hadapannya sibuk dengan handphone masing-masing. "Kalian nggak seneng apa ketemu aku?"

"Nggak." Tanpa terduga, Rio dan Fajar kompak memberi jawaban yang sama.

Rafa menautkan kedua tangannya di belakang kepala kemudian bersandar di sofa. Kedua mata hitamnya menatap langit-langit ruang tamu yang di tengahnya tergantung sebuah lampu hias gantung minimalis.

Pria itu menghela napas berat. "Ya Allah, kok gini amat nasibku. Udah ditolak mentah-mentah, dicuekin sahabat juga. Tampang keren dan ngangenin kadang memang nggak ada gunanya," kata Rafa dramatis.

"Makanya, berguru sama aku." Rafa menoleh pada Fajar sambil tersenyum miring.

"Nggak bakal mempan. Cewek ini beda dari sebelum-sebelumnya. Limited edition," sanggah Rio yang segera diacungi jempol oleh Rafa.

Life is Like An Ice CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang