15. Senja di Balik 99 Kubah

82 15 16
                                    

"Jangankan cinta, bahkan rindu sebagai tahapan awal dan pelengkap cinta seringkali seperti tangen 90 derajat. Tak terdefinisi."

Gadis itu menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Fila sudah janjian dengan Ara ke Pantai Losari sore ini. Namun yang ia tunggu belum juga menampakkan batang hidung dan atribut pink-nya.

Fila memarkir sepeda. Mulutnya asyik mengunyah permen karet sembari menikmati suasana di tepi pantai. Kawasan yang berada di sebelah barat Kota Makassar itu tampak ramai. Beberapa orang sibuk berselfi di depan letter besi bertuliskan Pantai Losari.

Gerobak kuliner berjejer, menawarkan berbagai makanan khas Kota Daeng—julukan untuk Kota Makassar. Salah satu yang paling sering ditemui adalah pisang epe. Pisang yang diolah dengan cara direbus kemudian dibakar dan diberi topping keju, cokelat, susu, dan aneka rasa lain.

Sekitar 1 km dari anjungan Pantai Losari terdapat Masjid Terapung Amirul Mukminin, tepatnya di sebelah timur laut pantai. Masjid berwarna perpaduan putih, abu-abu dan biru ini merupakan masjid apung pertama di Indonesia.

Sementara di seberang pantai berdiri megah Masjid 99 Kubah. Bangunan yang diarsiteki oleh Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat. Warna terang seperti kuning, merah, dan jingga tampak menghiasi kubah. Kedua masjid ikonik itu kerap menjadi pusat berfoto bagi para pengunjung.

Fila duduk di kawasan anjungan pantai. Enggan bergerak dari tempat. Kedua matanya melirik ke sana ke mari mencari sang sahabat. Hampir setengah jam menunggu, kini ia mendapati pemandangan tak terduga di hadapannya.

Ara datang bersama Fay. Gadis itu tampak begitu ceria berdiri di belakang Fay. Tangannya berpegangan di pundak sang pacar, sementara kakinya berpijak pada footstep sepeda.

"Sorry, Fi. Lama," ucap Ara sesampainya di dekat sepeda milik Fila.

"Gimana nggak lama, aku dilarang balap. Mana jauh." Fay berkacak pinggang menatap Ara.

"Aku kan takut jatuh, Kak," jawab Ara sambil turun dari sepeda.

Fila bangkit menyambut keduanya sambil tersenyum. "Kirain kamu ke sini ama kakak sepupu kamu," tanyanya pada Ara.

"Ngapain aku sama sepupu kalau ada pacar. Ya kan, Kak?"

Fay hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia tampak masih kesal karena baru saja pulang kerja dan sekarang harus menuruti kemauan dari sang pacar.

"Kak, ajarin aku ya," pinta Ara sambil bergelayut manja di lengan Fay.

Fay melongo. "Kamu nggak bisa naik sepeda?" Ara kembali terkekeh.

"Terus kamu bisanya apa?"

"Dandan." Fay menghela napas. "Biar kakak bahagia mulu liat aku yang cantik."

Fay menghela napas kasar lalu turun dari sepeda. "Cepetan naik! Biar aku yang nahan sepedanya."

"Ayo, Fi!" teriak Ara saat mulai mengayuh sepeda.

Fila mengikuti, mengayuh pelan pedal sepeda. Lama-lama ia merasa sedikit canggung berada di belakang sepasang kekasih itu. Ia pun memutuskan meninggalkan keduanya.

"Ra, Kak Fay, aku duluan ya. Nunggu kamu lama, Ra. Betisku pegel nih," ucap Fila sembari tertawa lalu memacu kencang sepedanya.

Ara berhenti sejenak dan berteriak, "Awas kamu ya. Tunggu aja aku pandai."

Fay melepas tangannya dari badan sepeda. "Kamu nggak bisa ya, niru Fila dikit? Pintar, bisa pake motor, sepeda, bisa main sama adik aku. Dia juga pandai ngobrol sama ibu."

Life is Like An Ice CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang