20. Belajar Bersama

40 12 8
                                    

Fajar tiba lebih dulu di rumah Rio. Usai memarkir motornya di depan warung, ia masuk ke dalam warung—yang bersambung dengan rumah Rio, mencari sahabatnya. Aroma khas coto Makassar menyeruak menyenggol indra penciuman lelaki berkulit sawo matang itu.

Setelah celingak-celinguk mencari Rio, ia tidak juga menemukannya. Hanya ada seorang bapak yang tampak sibuk menyiapkan pesanan dan dua orang pegawainya yang bolak-balik membawakan makanan ke meja pelanggan.

Dengan sesopan mungkin, ia kemudian bertanya pada sang bapak yang ia ketahui bahwa pria paruh baya itu merupakan ayah Rio. Mereka memang pernah bertemu dan saling menyapa sebelumnya, saat masih kuliah.

"Maaf ganggu, Pak. Rio-nya ada?"

Pria itu menoleh dan menatap Fajar sejenak. Sepertinya berusaha mengingat pemuda di sampingnya.

"Kamu ... Fajar kan?" tanyanya kemudian. Fajar tersenyum mengiyakan.

"Masuk, masuk. Dia ada di dalam. Udah menunggu dari tadi. Maaf ya, bapak lagi sibuk."

"Oh iya, Pak. Kalau begitu saya ke dalam dulu."

Fajar segera bergeser ke belakang, menuju teras dan mengetuk pintu beberapa kali. Tak lama keluarlah seorang pemuda dengan penampilan urakan.

"Kamu baru bangun?"

"Nggak. Aku ketiduran nungguin kalian," jawab pria itu sembari menggaruk tengkuk.

Fajar melongokkan kepala memeriksa ruang tamu. "Memangnya yang lain juga belum datang?" Rio menggeleng lemah dan memundurkan sedikit badannya memberi jalan pada Fajar.

Tampak beberapa buku paket, pensil serta kertas putih bertebaran di meja bertaplak warna kuning. Fajar bisa menduga kalau sahabatnya itu sudah mencoba mengerjakan beberapa soal.

"Udah berapa nomor nih?" tanya Fajar sambil meletakkan ransel dan duduk di lantai.

"Baru tiga. Itu soal yang dulu. Lanjutin yang waktu di rumah Rafa."

"Dikit amat," goda Fajar. Ia sengaja memancing rasa kesal sang sahabat.

"Iya ... kamu lebih pinter. Puas? Aku ngerjainnya sejak bangun tadi loh." Fajar tertawa mendengar ucapan Rio.

"Jangan-jangan kamu belum mandi karena ini," selidik pria itu sambil mengamati penampilan Rio. Rambut yang berantakan, wajah berminyak serta keringat di beberapa sisi bajunya.

Pemuda yang mendapat tatapan mendetail dari sang sahabat lantas memamerkan senyum malu-malu. Mulut Fajar membulat. Rio kemudian memberi isyarat dengan meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

"Mending sekarang kamu mandi deh. Sebelum yang lain datang," perintah Fajar.

Rio masih bermalasan. Ia meraih ponsel yang sejak tadi ia anggurkan. Fajar yang tak tahan segera merebut benda pipih itu dan memaksa sang sahabat berdiri. Rio pasrah, ia menyeret langkah beratnya ke belakang. Meninggalkan Fajar bersama kisi-kisi soal yang sempat membuat kepalanya sedikit pening.

Belum genap lima menit Rio ke kamar mandi, terdengar suara ketukan dan salam di luar pintu. Fajar bangkit dan membuka pintu lalu mempersilakan kedua orang itu masuk. Dua gadis teman kuliahnya dulu—Fila dan Ara.

"Loh, kamu juga? Bukannya kerja?" tanya Fila heran saat melihat siapa yang membuka pintu.

"Kan sabtu, Fi."

Fila menggaruk jilbabnya. Ia lupa kalau hari kerja Fajar hanya mulai hari senin hingga jumat.

"Rio baru mandi tuh. Tunggu aja bentar. Sambil nungguin satu orang lagi."

Fila mulai kikuk, menduga-duga siapa yang dimaksud Fajar. Akan tetapi ia memilih diam dan tak ingin memperjelas.

"Panjang umur. Itu pasti dia," ucap Fajar saat tiba-tiba terdengar teriakan salam dari luar sambil menyebut nama Rio.

Life is Like An Ice CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang