Devan turun dari dalam mobilnya yang sudah terparkir didepan rumah Meva. Namun, sebelum mencapai pintu, langkahnya berhenti. Pandangannya menuju ke arah mobil hitam yang terparkir disamping rumah Meva. Sepertinya dia pernah melihat mobil itu.
Devan menggelengkan kepalanya pelan dan kembali berjalan ke arah pintu rumah kecil itu. Membuka pintu itu dan terdengar suara tawa dari arah ruang tamu.
Langkah Devan kembali terhenti diambang pintu, saat melihat putranya tengah bergurau dengan pria yang semalam ia temui secara tidak sengaja. Keduanya menghentikan kegiatan mereka sejak pintu itu terbuka.
"Ayaah!!"
Arlan berlari kecil ke arah Devan saat tahu sosok ayahnya lah yang datang. Devan mengelus kepala Arlan yang berdiri didepannya.
"Ayo, ayah masuk" ajak Arlan serambi menarik tangan ayahnya untuk masuk lebih dalam. Devan duduk disalah satu sofa kursi yang kosong yang berada tak jauh dengan tempat duduk pria yang tadi sempat bergurau dengan Arlan.
"Hai" sapa Dika canggung pada Devan.
Devan tidak menjawab dan hanya membalas dengan senyuman tipis. Sedang apa pria ini pagi-pagi sudah disini?
"Ah ayah, ini Om Dika. Temannya Bunda. Om Dika, ini ayahnya Arlan" ujar Arlan polos memperkenalkan kedua orang itu tanpa tahu apapun.
Devan hanya mengangguk kecil, Ia ingat perkataan Gibran semalam saat ia menelpon sepupunya itu.
"Iya, setahuku dari Kai, Meva dan Tuan Dika itu teman kecil saat dipanti asuhan. Bahkan mereka sangat dekat dari anak-anak yang lain, mungkin karena usia mereka tidak beda jauh. Arlan juga sempat dekat dengan Tuan Dika. Aku pun yang pernah menjadi rekan kerja Tuan Dika sedikit terkejut. Ternyata dunia ini sempit"
"Bunda dimana?" tanya Devan pada Alran. "Bunda sedang menyiapkan tas sekolah Arlan, dan meminta Arlan untuk menemani Om Dika." jawab Arlan.
"Arlan sudah sarapan?"
"Sudah. Tadi Arlan sarapan dengan Om Dika dan Bunda, iya kan, Om Dika?." tanya Arlan yang diangguki Dika.
Devan terdiam. Dia sudah didahului oleh pria yang bernama Dika ini.
"Kalau gitu, Arlan pergi ke Bunda, Ayah" pamit Arlan.
Bocah itu langsung pergi setelah mendapat persetujuan dari Devan meninggalkan dua orang itu dalam keadaan yang kembali canggung.
Devan maupun Dika tidak ada yang membuka suara untuk berbincang satu sama lain.
"Maaf, kalau boleh tahu. Sedang apa anda ada disini?" tanya Devan yang sedaritadi diam, menanyakan hal yang ingin ia sampaikan.
"Saya disini ingin mengantar Meva dan juga Arlan" jawab Dika tenang.
Devan kembali terdiam sebentar, "Tapi, setiap pagi saya yang mengantar mereka"
"Iya, saya tahu. Tapi saya tetap ingin mengantar mereka"
Devan cukup terkejut mendengar jawaban tenang yang diberikan oleh Dika. Hatinya merasa, pria ini seolah sedang menantangnya. Menantang, siapa yang akan mendapatkan hati Meva.
Kedua pria itu menoleh ke arah pintu kamar Arlan yang dibuka dari dalam. Meva dan Arlan keluar bersama. Sontak saja kedua pria itu berdiri membuat Meva dan Arlan sedikit terjengkit.
"Mas Devan? Sejak kapan, Mas Devan disini?" tanya Meva melihat keberadaan Devan yang tiba-tiba.
"Baru saja, tidak terlalu lama"
"Apa kau sudah selesai?" tanya Dika pada Meva. Meva mengangguk, "Iya sudah"
"Ayo berangkat! Aku akan mengantarmu" ajak Dika.
"Tidak. Biar aku yang mengantarmu, Meva. Bukankah aku yang selalu mengantarmu?" tanya Devan cepat, tak membiarkan Dika mengambil kesempatan.
Meva hanya diam dengan menatap bergantian Devan dan Dika. Sedangkan Arlan hanya menatap bingung kedua orang itu dengan raut wajah polos.
"Saya yang lebih dahulu disini. Jadi saya yang akan mengantar mereka" ujar Dika serambi menatap Devan.
"Tapi saya yang selalu mengantar mereka" ujar Devan tak mau kalah.
"Meva sudah menerima ajakan saya." ujar Dika yang juga tak mau kalah. Inilah dua orang dengan kekerasan kepala mereka.
Meva yang tidak ingin ada pertengkaran dirumahnya, terlebih hari masih pagi segera menengahi, "Sudah, cukup!"
"Maaf, Mas Devan. Aku akan pergi dengan Mas Dika karena aku sudah menerima ajakkannya dan aku tidak bisa menolak. Lagipula kamu sudah mengatarku sering kali, jadi biarkan giliran Mas Dika" ujar Meva pada Devan.
Tidak ada jawaban dari Devan. Pria itu tidak berniat membalas jika memang Meva berkata seperti itu.
"Kau bisa mengantar Arlan, dan aku akan bersama Mas Dika" ujar Meva adil.
"Ya, Meva benar. Anda bisa mengantar Arlan. Saya tidak masalah." sahut Dika menyejutui saran Meva. Karena memang itu tujuannya.
"Iya, Ayah. Ayah mengantar Arlan saja" ujar Arlan membuat Devan mau tidak mau harus menerima.
*
*
*
Mohon maaf QReaders^^
Sebagian chapter telah dihapus untuk kepentingan penerbitan e-book^^
*
*
*
TBC
Yeeeyy... Up juga akhirnya ^0^
Persiapan aja sih, untuk next chapter-chapter lainnya kalian siapkan hati ya😂😂 Mungkin bisa jadi, ada yang gk kalian duga, wkwk😂
Oh ya, kalo kalian pengen lebih deket sama aku... kalian bisa tanya apa aja sama aku dan bakal aku jawab di next chap 👌👌👀👀
Jangan sungkan kalo mau tanya, aku gak gigit 😂😘
Trs aku juga mau tanya sama kalian..
Apa sih yang membuat kalian suka sama cerita aku yang ini?
Apa kesalahan dari cerita ini? atau apa yang kurang dari cerita ini?
Untuk cerita lainnya kalian mau kyk gimana?
Atau mungkin klo aku bikin fiksi remaja nnti, kalian mau kyk yg gmn jg?
Aku akan berusaha terus mengembangkan dan perbaiki karya dan penulisan aku menjadi lebih baik lagi kedepannya dan juga bisa menghasilkan karya yang bagus2 juga^^
See u next chap readerskuuu 😘❤❤
Sorry for typo~
Alifal QR
27 Februari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST [Terbit E-Book]✔
Fiksi Umum[E-Book bisa dibeli di GooglePlay/PlayBook^^] Meva Salsabila diusir oleh suaminya dalam keadaan hamil muda yang bahkan tidak diketahui oleh suaminya, Devano Xavier dan juga keluarga pria itu. Hanya karena kesalahan yang tak pernah Meva lakukan, suam...