[Penilaian Akhir Semester, kelas sebelas.]
Setelah kejadian sapaan waktu itu yang berakibat pada ketertarikan Raihan pada Syakila, setiap pagi—jika sedang gak berangkat bersama Wawan—dia diam-diam menunggu Syakila di gerbang sekolah maupun parkiran sekolah. Cewek itu selalu dengan senang hati membalas sapaan Raihan dan seolah gak pernah menyadari bahwa ada maksud tertentu dari tindakan Raihan itu.
Kalau Jihan sedang datang terlambat, cewek itu dengan bersedia menunggu sambil mengobrol dengan Raihan. Mau tahu apa yang mereka obrolkan? Pembahasannya justru hal yang gak dikira-kira seperti membahas soal mantan Raihan, soal mimpi Raihan yang selalu aneh bin ajaib, dan juga celetukan disertai gombalan yang gak ada habis-habisnya. Sudah bisa ditebak siapa yang lebih mendominasi percakapan. Syakila lebih sering tersenyum, tertawa, membalas sesekali lalu tertawa lagi. Tetapi melihat Syakila yang seperti asik mengobrol dengannya membuat Raihan ikut terbawa suasana hingga ingin selalu meneruskan pembicaraan mereka.
Kedekatan mereka berlangsung hampir mendominasi kelas sebelas semester genap ini. Bahkan hingga memasuki penilaian akhir semester pun, Raihan masih merasa tenang-tenang saja berada di dekat Syakila. Ia gak pernah memikirkan resiko apa yang akan ditanggungnya. Selama merasa gak ada kerugian, Raihan akan tetap melakukan apa yang dia mau. Dia merasa gak pernah kepergok ataupun ketahuan menggombali Syakila oleh Rama sedikitpun. Cowok itu terlalu sibuk pada urusan belajarnya, pikir Raihan saat itu. Gak ada yang tahu bahwa Syakila dan Raihan ternyata cukup dekat.
Iya, awalnya Raihan mikirnya gitu. Tapi tanpa sadar, ia sebenarnya sedang menciptakan lubangnya sendiri untuk kerugian yang besar dan membuat permasalahan yang gak bisa diselesaikan dengan mudah; masalah hati.
"SUMPAH, GUE ENGAP!"
Percaya atau gak, suara yang menggelegar di seluruh sudut kantin itu berasal dari orang di sebelah Raihan; Wawan pelakunya. Kalau biasanya Wawan lanjut nyerocos tanpa peduli seisi kantin melihatnya, tetapi berbeda kali ini.
Semenjak Bu Sari—ibunya Wawan berjualan di kantin, beliau selalu mengawasi perilaku anaknya. Iya, seperti sekarang. Dengan segera teguran sampai kepada Wawan yang hanya bisa cengengesan itu.
"Wan, jaga kelakuan kamu," tegur Bu Sari.
Raihan menahan tawa. Jika gak ingat bahwa ia juga harus menjaga etika di depan Bu Sari, mungkin ia sudah tertawa terbahak-bahak sambil memukul Wawan karena suaranya tadi sangat menggelegar hingga seluruh penghuni kantin menoleh padanya. Wawan suka gak sadar diri kalau suaranya itu gak kalah kencangnya dari toak masjid.
"Mapel pertama matematika wajib, woy! Terus mapel kedua biologi. Gimana gak engap coba?" Wawan melanjutkan keluh kesahnya. Cuma yang kedua ini lebih pelan, takut-takut diomelin ibunya lagi.
"Tau ih. Pala gue udah kayak mau meledak. Nih udah ngebul. Lo liat gak?" Dengan bodohnya Raihan menunjuk atas dari kepalanya sendiri. Wawan juga gak jauh beda. Ia benar-benar melihat ke atas kepala Raihan—arah yang Raihan tunjuk, seolah dari sana benar-benar keluar asap.
"Kalau otaknya udah di dengkul mah ya gitu. Gue udah males banget ngurusin dua udang ini." Bukannya mengeluhkan soal-soal ulangan, Rama justru mengeluhkan kelakuan dua temannya itu.
Selatan awalnya gak ingin meladeni keributan dari ketiga temannya itu. Namun ucapan Wawan selanjutnya mengusiknya.
"Parah lo. Dari awal Ibu gue jualan, Amara ke kantin terus buat beli. Baik banget, kan? Jadi suk—"
Asal kalian tahu saja, orang yang berperan penting dalam kemajuan dagangan ibunya Wawan adalah Amara. Dia yang mengusulkan agar ibunya Wawan berjualan di kantin dibandingkan di rumahnya yang berada begitu jauh dari keramaian alias diujung gang sehingga gak strategis untuk berjualan.
![](https://img.wattpad.com/cover/259479820-288-k125007.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Without You
FanfictionBila kamu harus bersaing dengan orang yang berharga dalam hidupmu apa yang harus kamu lakukan? Maju untuk mendapatkan apa yang kamu mau dan kehilangan orang berharga dalam hidupmu atau mundur dengan kekecewaan karena menyerah tanpa berjuang? Jika ka...