"Ren, bangun yuk."
Suara halus nan lembut itu memasuki indera pendengaran Irena. Ia yang awalnya masih terlelap kini mulai mengumpulkan kesadarannya. Kedua matanya masih terpejam ketika ada tangan seseorang yang menyentuh rambut Irena hingga terasa mengusiknya. Bahkan saat seseorang itu berhenti menyentuh Irena diiringi suara langkah kaki yang menjauh, Irena masih enggan untuk membuka matanya. Hingga cahaya menyilaukan terasa hangat menyentuh wajah Irena, barulah ia membuka matanya. Meskipun dengan begitu, matanya dibuat sedikit menyipit untuk beradaptasi pada cahaya mentari pagi itu.
Kalau dibilang terkejut, jawabannya iya.
Biasanya bila Irena berada di rumahnya, ia selalu terbangun karena bunyi jam beker maupun alarm dari ponselnya kecuali kalau di rumah Amara pasti dibangunkan sahabatnya itu. Sayangnya, seingat Irena dia sedang ada di rumahnya. Jadi seharusnya hanya ada alarm yang berbunyi. Ia yang masih sibuk mencerna situasi yang terjadi justru membuka mata karena cahaya mentari yang menyentuh kulitnya akibat gorden kamar yang tersibak. Apalagi setelah melihat sendiri, siapa yang menyibaknya. Irena lantas mengernyitkan keningnya dengan heran.
"Mama?" panggilnya dengan bingung. Irena bahkan lupa kapan terakhir kali Irina membangunkannya seperti sekarang.
Irina kembali menghampiri Irena. Ia memposisikan dirinya untuk duduk di sebelah Irena, tepat di atas kasur anak bungsunya. Dengan gerakan pelan, Irina kembali mengelus rambut Irena dengan penuh kasih sayang kemudian berkata, "ayo buruan bangun. Mama, Papa sama Kak Randy nungguin kamu."
"Mau ngapain?" tanya Irena.
"Sarapan bareng."
Mungkin karena lebih sering berada di rumah Amara, juga sudah jarang bertemu keluarganya, Irena sampai lupa kalau di keluarganya juga ada hal seperti itu. Padahal kalau di rumah Amara, ia juga biasa sarapan bersama keluarga Amara tiap pagi.
"Mama tunggu di bawah, ya?" Irina menyampaikan lagi.
Meskipun belum sadar sepenuhnya, Irena akhirnya mengangguk dan membiarkan mamanya keluar dari kamarnya. Untuk sejenak yang ia lakukan di atas kasur hanya terdiam sambil melihat cahaya mentari yang ternyata semakin lama terasa semakin menyengat di kulitnya. Oleh karena itu, Irena akhirnya beranjak dari sana. Ia hanya mencuci muka kemudian menyikat gigi untuk selanjutnya turun ke lantai satu dan menuju ruang makan.
Irina benar soal Irena yang ditunggu oleh ketiga orang keluarganya di meja makan. Karena setibanya Irena di sana, mamanya, papanya, dan Randy sudah ada di meja makan. Meskipun kondisi Randy gak jauh berbeda dengan dirinya—masih memakai baju tidur. Juga masih sibuk mengoneksikan apa yang sedang terjadi.
"Mama sama Papa udah bicara lagi soal masalah sebelumnya," ujar Irina, membuka percakapan.
Randy dan Irena yang sadar kalau pembicaraan mereka ternyata serius, mereka sama-sama membuka matanya lebar-lebar dan memasang telinga mereka dengan benar.
"Mama sama Papa milih terus bareng aja. Ternyata setelah dipikir-pikir, keputusan kami sebelumnya memang terkesan buru-buru." Kali ini Reza yang berbicara.
Memang benar ternyata kalau hati manusia itu sering dibolak-balikkan. Kadang setuju, kadang gak. Kadang iya, tetapi gak menutup kemungkinan untuk selanjutnya berkata tidak. Lalu untuk kali ini, Randy dan Irena bersyukur akan hal itu. Usaha untuk mengajak bicara kedua orang tua mereka gak berujung sia-sia. Lebih daripada itu semua, Randy dan Irena merasa didengarkan pendapatnya. Ada sebuah rasa yang tanpa diduga meningkat pesat; kepercayaan. Mereka menjadi percaya bahwa kedua orang tuanya gak hanya mementingkan diri mereka saja. Tetapi juga mempertimbangkan keinginan Randy dan Irena meskipun harus melalui banyak pertengkaran lebih dulu.
![](https://img.wattpad.com/cover/259479820-288-k125007.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Without You
FanfictionBila kamu harus bersaing dengan orang yang berharga dalam hidupmu apa yang harus kamu lakukan? Maju untuk mendapatkan apa yang kamu mau dan kehilangan orang berharga dalam hidupmu atau mundur dengan kekecewaan karena menyerah tanpa berjuang? Jika ka...