Titik Akhir [End]

33 3 0
                                    

"Rada jauh ya, Han, kalau ke angkringan dari rumah gue?"

Suara Irena memecah keramaian jalan raya sore itu selepas mereka meninggalkan Randy di rumahnya. Lebih tepatnya, sore menjelang malam sih. Karena warna jingga pada langit sore saat itu telah memudar dan hampir menyatu dengan gelapnya malam.

"Iya, Ren. Rada jauh. Dingin gak? Kalau dingin kita berenti dulu. Lo pake jaket gue du—astaga! Jaket gue ketinggalan di jok motor, Ren!"

Hampir saja motor yang dikendarai Raihan jatuh setelah sempat oleng karena ulah sang pengendara. Suara teriakannya di akhir kalimat membuat beberapa pengendara yang lain menoleh padanya.

"Ck, Han. Yang bener." Irena yang sebelumnya mencengkram erat baju Raihan kini perlahan-lahan melonggarkan cengkramannya setelah motor milik Randy yang dikendarai oleh Raihan itu mulai stabil lagi.

Raihan menghela nafas dari balik helmnya. Ia lalu berucap," maaf, Ren. Lo gak papah, kan?"

"Iya, gak papah." Irena menyahuti.

"Kedinginan gak?" tanya Raihan lagi.

Irena yang semula kesal karena sempat panik tadi kini luluh oleh pertanyaan Raihan. Ia menjawab, "gak papah, Han. Ini gue bawa jaket. Lo lupa? Makanya Jangan terlalu khawatir sama gue, Han. Gue baik-baik aja."

"Oh iya, gue lupa." Raihan menepuk kaca helmnya sendiri. Ia menyahut lagi, "habisnya gimana dong gue khawatir beneran."

Irena diam-diam mengulum senyum.

Lo harus tau, Han. Gue selalu baik-baik aja kalau sama lo. Bahkan kalau situasinya sedang gak baik-baik aja, kalau ada lo, semuanya terasa akan membaik.

Kalimat itu hanya mampu Irena simpan di dalam hati dan gak mampu untuk Irena ucapkan. Ia hanya membiarkan angin kencang yang menerpa mereka berdua menjadi pemecah keheningan di antara mereka selain suara-suara kendaraan malam itu. Gak ada obrolan lagi diantara mereka hingga keduanya sampai ke tempat tujuan.

"Biar gue pesen dulu. Lo tunggu di situ aja. Kita jangan terlalu deket sama jalanan. Nanti kemasukan angin lewat." Raihan menunjuk meja kecil yang terletak agak ke tengah-tengah diantara meja-meja lain yang tersedia di angkringan tersebut. Iya, hanya meja saja tanpa kursi. Mejanya pun kurang lebih hanya setinggi lutut kaki.

Irena terkekeh geli sebelum beranjak ke tempat yang Raihan maksud. Bahasa Raihan kadang terlalu lucu untuk dia dengar. Kemasukan angin lewat katanya. Ada-ada saja.

"Enak, ya?" tanya Raihan begitu sampai di sebelah Irena. Ia duduk dengan kedua kaki bersila dengan kepalanya yang menghadap Irena.

"Enak apanya? Makan aja belum," cetus Irena.

Tawa Raihan berderai. Ia melanjutkan, "maksud gue, pas waktu itu lo makan. Aduh, kok gue baru nanya sekarang sih?" Lagi-lagi Raihan kebingungan dengan ucapannya sendiri.

"Iya, gue paham," sahut Irena untuk menghentikan kebingungan Raihan. "Makasih," lanjutnya.

Raihan mengernyitkan dahinya. Kepalanya sedikit dimiringkan sebagai refleks keheranannya. "Buat?"

"Buat ... semuanya. Pilihan tempat yang bagus, saran yang bagus, dan juga ... teman dekat yang baik untuk gue," tutur Irena dengan tulus.

Raihan mengulas senyum tipis. Ia mengangguk dan membalas, "makasih juga buat lo yang udah bertahan sampai hari ini. Yang gak menyerah untuk waktu-waktu sulit. Juga ... masih mau nemenin orang kayak gue yang kelakuannya sering ceroboh ini."

Irena tertawa mendengarnya. "Lo ceroboh sekaligus bisa diandalkan, Han. Saat lo menyebabkan masalah, lo akan berusaha keras buat memperbaikinya. Tapi itu juga gak ngebuat lo kapok nyari masalah. Gue jadi inget waktu Mami lo marah-marah karena baju SMA lo yang dibuat warna-warni mentang-mentang udah selesai masa SMA."

Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang